PMII CABANG KOTA SALATIGA
|
9:37 AM
|
0
komentar
permukaan. Hal ini dipicu oleh sebuah kenyataan tampilnya Megawati Soekarnoputeri
sebagai calon presiden PDI-P, partai yang memenangi Pemilu. Maka, perkembangan
sosio-politik saat itu sangat sarat dengan wacana gender.
Sejalan dengan isu tersebut, dalam tulisan ini akan dicoba mengkaji eksistensi gender
dalam kehidupan sosio-kultur dalam perspektif Islam. Pemilihan perspektif ini
atau perubahan sosial yang kini memerlukan solusi yang tepat dan jitu.
Islam dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan. Hal ini dipicu oleh
perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan kultural,
tetapi secara simultan mengakibatkan terjadinya pengkerdilan nilai-nilai kemanusiaan
dalam ajaran Islam.
kekinian pasca pemilu yang telah begitu jauh menjadi discourse utama dalam wacana
intelektual indonesia. Dengan segala implikasi epistimologisnya, tulisan ini mencoba
egalitarian di segala aspek kehidupan.
Islam, telah mengakibatkan adanya disorientasi teologis karena menguntungkan satu
pihak dan merugikan serta mengeksploitir pihak-pihak yang lain. Dalam epistimologi
otoritas kaum laki-laki.
perempuan menimbulkan teologi patriarkhi untuk selanjutnya diformulasikan menjadi
terhadap kaum perempuan untuk lebih leluasa.
Ada dua sasaran kritik teologi gender. Pertama diarahkan pada bias sosio-antopologis
sebagai akibat kuatnya budaya patriarkhi. Kedua pada anggapan yang mendasari
produk pemikiran teologis tentang posisi dan peran wanita, sebelum lebih jauh masuk
pada kajian teks-teks Kitab suci. Terhadap kajian wacana yang disebut terakhir ini,
terbuka pintu bagi manusia untuk merekonstruksi.
teks yang bersifat historis dan kritis. Dengan langkah-langkah ini teologi gender tidak
berhenti pada kritik saja, tapi lebih jauh ingin menawarkan pandangan dan solusi yang
akan mengimplikasikan terjadinya perubahan sosial (struktural).
kurang mendapat perhatian dalam diskursus teologis. Kalaupun diangkat menjadi
subordinat, karena semata-mata ingin mempertahankan superioritas kaum laki-laki.
Kenyataan ini, misalnya terlihat ketika penafsiran "Zawjaha" dalam Al-Qur’an yang
diberi arti sebagai manusia kedua yang diciptakan dari tulang rusuk Adam.
rumusan yang konstruktif tentang posisi dan peran perempuan dimasa depan. Lebih
eksistensi personal antara sesama mahkluk.
Dari kritik terhadap bias sosio-antropologis tersebut, teologi gender juga mengajukan
kritik terhadap kesalahan dalam memahami teks-teks kitab suci yang disebabkan oleh
asumsi dasar yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara teologis.
Menurut Riffat Hasan ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi
pemikiran teologi dilingkungan umat Islam Pertama; Bila mahluk yang bernama
Hawa diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, maka denga sendirinya perempuan
diyakini sebagai mahluk yang secara ontologis adalah sekunder. Kedua; bahwa
perempuan --bukan laki-laki-- yang merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam
dari surga atau yang kita kenal sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari
surga, karena itu semua anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci,
curiga dan --bahkan-- hina. Ketiga; Bahwa perempuan diciptakan pada dasarnya
adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya hanyalah pelengkap.
Asumsi di atas telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman para ulama terhadap teks
kitab suci tentang penciptaan manusia yang secara serta merta menempatkan laki-laki
di atas perempuan, pada hal sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan kitab suci
tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan
perempuan, walaupun al-Qur’an menggunakan istilah laki-laki dan perempuan,
maskulin dan feminin, tidak dimaksudkan untuk memperioritaskan yang satu dan
merendahkan yang lain, karena pada dasarnya hakekat penciptaan mahluk secara
eksistensial adalah sama.
Tuhan menyebut seluruh umat manusia dimuka bumi sebagai khalifah. Dengan
demikian dalam kehidupan sosial tidak ada perbedaan karena adanya kualitas
penciptaan secara biologis.
Demikianlah kita telah melihat kritik teologi gender telah menyentuh persoalan yang
demikian luas dan mendasar. Dikatakan demikian karena teologi gender tidak saja
terbatas pada analisis struktural tapi telah memasuki persoalan yang mendasar, yang
berkaitan dengan pandangan dunia masyarakat tentang hubungan laki-laki dan
perempuan yang dikembangkan berdasarkan pada pemahaman teks-teks Kitab suci.
Apa yang ditawarkan dalam kajian gender dengan mengambil acuan pada wacana
teologi akan memberikan peluang tumbuh kembangnya diskursus teologi yang
bersifat emansipatoris, tidak saja untuk kaum hawa, tapi untuk semua umat manusia.
Gender: Sebuah Telaah Historis
Berbicara masalaha perempuan tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang sejarah.
Perjalanan perempuan dalam lintas sejarah sebelum Al-Qur’an diturunkan
membuktikan bahwa telah telah sekian banyak peradaban-peradaban besar
memberikan pelajaran dan pandangannya, seperti Yunani, Romawi, India dan Cina
serta agama-agama yang telah ada, misalkan, Yahudi dan Nasrani, Budha, Zoroaster
dan sebagainya.
Demikianlah selayang pandang sejarah peradaban manusia tentang kedudukan
perempuan sebelum kehadiran Al-Qur’an.
Pandangan terhadap perempuan seperti digambarkan di atas --sedikit banyak--
mempengaruhi pemahaman sementara ulama terhadap teks-teks Islam, bahkan
sebagian apa yang dianggap ajaran agama ternyata bersumber pada budaya dan
pandangan di atas, justeru tidak berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an. Ini dikuatkan lagi
dengan banyaknya bentuk-bentuk ayat dalam teks-teks agama Islam yang
disalahpahami tujuannya oleh sementara pihak.
Realita diatas --juga-- mengakibatkan timbulnya sikap kegusaran kaum laki-laki
manakala derajat kesamaannya dipersamakan dengan kaum perempuan. Secara umum
perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan
dengan organ-organ tubuhnya. Sudah sepuluh abad lamanya pandangan ini hampir
mewarnai seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agamaagama
besar seperti, Yahudi, Kristen dan Islam.
Ketiga agama tersebut percaya bahwa Adam adalah manusia yang pertama, sementara
Hawa diciptakan dari tulang rusuknya, meski tidak satu ayat Al-Qur’an pun memuat
ungkapan Hawa dalam peristiwa penciptaan. Al-Qur’an hanya menunjukkan bahwa
Adam dan pasangannya diciptakan dari esensi dzat yang sama.
Sumber yang dijadikan rujukan lahirnya pandangan tersebut adalah hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, ia akan patah bila kamu
bersikap keras untuk meluruskannya. Namun beberapa kalangan berpendapat bahwa
apa yang tersebut dalam Al-Qur’an lebih dapat dipertanggung jawabkan
keontektikannya daripada periwayatan haditas tersebut. Disamping itu islam pun tidak
pernah menyatakan bahwa Hawa adalah pihak yang menyebabkan kejatuhan Adam di
dunia, namun toh demikian dalam karya-karya klasik Islam maupun sebagian yang
kontemporer, sosok perempuan digambarkan sebagai sumber kejahatan, birahi dan
dekadensi moral yang akan menjerumuskan laki-laki ke dalam neraka. Untuk masalah
ini lebih lanjut akan dibahas dalam bab yang kemudian.
Secara historis adanya sifat kegusaran ini ada sejak Islam lahir sebagai gerakan
reformasi budaya. Penolakan terhadap Islam oleh masyarakat Arab --adalah bukti
yang sangat jelas-- merupakan penolakan atas moralitas yang menghapuskan simbolsimbol
superioritas kaum lelaki. Seruan akan keesaan Allah meruntuh lantakka
kewibawaan laki-laki sebagai kepala suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah
atas anak-anaknya, saudara laki-lakai atas saudara perempuan dan suami atas istrinya,
dan semua sahabat dapat dengan segera memberikan respon emansipatif terhadap
reformasi sosial ini, bahkan setidaknya Umar bin Khathab pernah mengalaminya dan
mengatakan bahwa memberikan hak terlalu banyak kepada perempuan sama saja
dengan membiarkan mereka dikuasai oleh kaum perempuan, bahkan sepeninggal
Nabi kecenderungan pada superioritas kaum lelaki yang belum sepenuhnya terkikis
oleh reformasi budaya islam kembali menguat. Hal ini tampak pada interpretasi para
sahabat terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dari sekian banyak sahabat yang
dipandang mempunyai kapasitas penafsiran yang tidak diragukan lagi dikalangan
sahabat yang lainnya seperti, Ibnu Abbas, tetap saja menempatkan laki-laki sebagai
penguasa, pemimpin dan pengontrol perempuan.
Contoh dari sekian banyak pembalikan fakta dari konteks suatu ayat adalah ayat (34)
surat al-Nisa’ yang dari sudut asbabun nuzulnya menyangkut dibebankannya taklif
pada laki-laki serangkai dengan peristiwa bahwa seorang sahabat rasulullah mengadu,
ia telah dianiaya oleh suaminya. Sambil menaruh rasa gusar dan iba Rasulullah
memerintahkan sahabat untuk memanggil suaminya untuk menghadap beliau, lalu
turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga
kepada perempuan. Ayat ini memberikan peringatan agar laki-laki dapat
memperlakukan perempuan dengan baik dan memberikan nafkan guna mendukung
proses generasi selanjtnya dalam keluarga.
Ironisnya pada perkembangannya, justeru ayat ini digunakan untuk mengancam kaum
perempuan supaya selalu mentaati laki-laki sampai melampaui otoritas perempuan
untuk beribadah kepada Allah dengan dasar dan dalil pada hadits Rasulullah diatas
yang dengan sendirinya menuntut untuk dikritisi kebenaran sanad (proses
periwayatan) serta matan (susunan isi hadits). Seorang istri harus mendapat izin untuk
melakukan ibadah yang sunnah hukumnya. Dalam kondisi demikian manakala suami
tidak mengizinkannya, maka istri harus membatalkan dan atau meninggalkannya,
sehingga istri tidak mempunyai pilihan kecuali mengabulkan kehendak tersebut.
Benarkah agama mengajarkan syari’at yang demikian?.
Sepeninggal Nabi, banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat islam.
Perubahan ini bearwal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem
monarkhi yang absolut. Sistem patriarkhi yang feodalistik dan hirarkhis muncul untuk
mengembalikan status quo kaum lelaki yang dilindas oleh reformasi Islam, sehingga
realita ini semakin menjauhkan masyarakat Islam dari modernitas yang pernah dicapai
Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalam kondisi demikian, sejauh menyangkut maslah-masalah kemasyarakatan, kaum
teolog dihadapkan pada suatu keharusan untuk melakukan interpretasi teks-teks Al-
Qur’an dalam upaya kontekstualisasi islam terhadap budaya setempat. Dalam proses
kontekstualisasi ini inkulturasi tidak dapat terelakkan. Meski demikian kendali politis
tidak selalu memberikan peluang bagi para teolog progresif untuk menyuarakan
keadilan yang hakiki. Ini terbukti dari beberapa pemikir yang harus menghadapi
kematian dan penjara bila mereka tidak menyediakan alat justifikasi bagi kepentingan
raja; kaum laki-laki.
Secara praktis dominasi laki-laki atas permpuan dalam masyarakat patriarkhi sepadan
dengan dominasi raja atas rakyatnya. Keduanya membutuhkan ketundukan yang
menyeluruh. Eksklusivitas dibidang teologi adalah konsekuen logis dari dominasi
diatas, karena hampir semua teolog adalah laki-laki, maka yang terakomodasi dalam
kitab-kitab tafsir dan fiqh adalah kepentingan penguasa; laki-laki, dan tidak
terdengarnya suara perempuan dalam penafsiran Al-Qur’an dan formulasi fiqh
(hukum Islam) sama sekali tidak menjadi perhatian para intelektual muslim, bahkan
seringkali dianggap sebagai ketiadaan suara perempuan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Gambaran umum perempuan dalam wacana klasik terdokumentasikan secara
sistematis dalam kitab-kitab fiqh. Sementara antara Al-Qur’an dan fiqh harus
dibedakan. Yang pertama adalah teks yang dihasilkan oleh peristiwa pembentukan
pertama, sedangkan yang kedua adalah kaedah hukum yang diambil dari Al-Qur’an.
Secara umum perempuan digeneralisasikan sebagai mahluk yang melebur kedalam
citra laki-laki, separo laki-laki. Kitab-kitab fiqh telah mengaburkan posisi sentral
perempuan sebgai "keibuan" yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi
posisi "keistrian" yang submisif dan tergantung. Sesungguhnya Al-Qur’an menuntut
penghormatan timbal balik antara suami istri. Yang lebih parah lagi banyak kondisi
yang ditopang oleh munculnya hadits-hadits palsu, seperti; tidak akan masuk surga
seorang istri kecuali atas ridla suaminya. Dan juga contoh kasus di Lombok ada
seorang ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang rela dimadu oleh tuan guru
(kiyai) maka ia akan mendapatkan "Payung Fatimah" yang memungkinkan ia masuk
surga bersama tuan guru.
Menggagas Gender: Sebuah Rekonstruksi
Menempatkan posisi perempuan dalam dialektika agama dan budaya adalah menelaah
suatu proses interpretasi yang terus berlangsung. Posisi ini memiliki dua sisi mata
uang. Satu sisi inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan dengan berbagai
literatur yang kontekstual serta mengakomodisikan permasalahan lokal yang beragam
untuk diberi sentuhan universalitas ajaran agama adalah sebuah kajian yng tak
terelakkan. Di sisi yang lain inkulturasi telah mereduksi pesan-pesan universal agama
dalam semesta intlektual suatu masyarakat lokal. Sakralisasi produk keagamaan yang
interpretatif untuk diterapkan dalam semua kurun waktu justeru akan mengaburkan
semangat emansipatif suatu agama. Sakralisasi tersebut --menurut Muhammad
Arkoun-- bagaikan lapisan-lapisan geologis yang menyembunyikan inti bumi. Untuk
mengetahui inti ajaran agama yang masih segar dan kaya nuansa pembebasan,
seseorang harus mampu membongkar literatur terdahulu bahkan sampai yang modern
sekaligus.
Salah seorang mufassir yang mencoba mengkaji terhadap masalah agama yang
berdimensi sosial termasuk dalam kaitan relasi gender adalah Ahmad Musthafa al-
Maraghi --mufassir moderat-- yang mengatakan bahwa pengaturannya harus
diselaraskan dengan perkembangan suatu masyarakat. Begitu pula secara khusus Al-
Haitami mengemukakan bahwa asumsi tentang superioritas laki-laki terhadap
perempuan hanya merupakan generalisasi belaka, kenyatan membuktikan bahwa
banyak pula perempuan mempunyai kemampuan yang sebanding dengan laki-laki
secara intelektual, profesional dan keterampilan.
Paparan di atas senada dengan gagasan transformatif yang ditawarkan oleh Abdullah
Ahmed al-Naim, bahwa transformasi terhadap ketentuan-ketentuan Islam adalah
sebuah keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi
kehidupan islami kontemporer. Di tengah meningkatkan kesadaran "harga
kemanusiaan" perempuan dan pihak-pihak yang tertindas, maka formulasi hukum
klasik tradisional dan parsial sudah harus ditinggalkan. Dengan cara itu Islam akan
mampu tampil menjadi ideologi yang tetap dinamis dan membawa kesejahteraan
semesta.
Rerkonstruksi gender bukan hanya dilatarbelakangi oleh sikap superioritas laki-laki
selama ini, namun jelmaan dari kehendak otoritas perempuan untuk menjadi sosok
yang sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini ditandai dengan adanya gerakan
kemandirian oleh kelompok perempuan dalam semua segmentasi kehidupan.
Pembongkaran radikal dilakukan pula pada norma-norma keluarga antara suami-istri,
misalkan bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak prerogatif seorang
perempuan, dan perempuan berhak menentukan sikap untuk menolaknya.
Gender: Teologi dalam Wacana Islam
Sesuai dengan judul di atas, diawali oleh semakin meluasnya tuntutan gerakan feminis
belakangan ini, maka konsekuensi logis sebagai masyarakat yang beragama kita harus
memberikan respons teologis secara kritis, sistematis dan mendalam, yakni
bagaimana kita mencoba menerjemahkan ajaran-ajaran islam dalam konteks seperti
ini. Dengan melibatkan pembicaraan dalam kacamata agama, maka dengan sendirinya
--yang pertama-tama perlu diperhatikan-- adalah tata nilai ajaran agama. Ada lapis
tata nilai yang bersifat Fundamental (Fundamental Values) dan ada pula tata nilai
yang bersifat Instrumental (instrumental Values).
Dalam ajaran islam tata nilai tersebut ada yang disebuat dengan istilah Muhkamat
yang mempunyai kapasitas universal, misalkan pandangan tentang egalitarian dan
persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, karena masingmasing
hanya kan ditentuka oleh Amal perbuatan dan ketaqwaannya dan masingmasing
laki-laki dan perempuan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat
sendiri. Dalam tataran yang fundamental ini hampir tidak ada persoalan.
Disamping sebutan Muhkamat adalah ajaran yang bersifat Mutasyabihat atau yang
biasa disebut pada level Instrumental, yang bersifat aplikatif dan kontekstual dan
mulai muncul pebedaan-perbedaab visi karena perbedaan latarbelakang budaya sosial
dan sebagainya. Pada tataran yang kedua inilah semua aturan atau yang bias disebut
dengan fiqh dirumuskan, misalkan tentang cara berpakaian, seberapa besar yang harus
ditutup atau samapi batas-batas mana bagian tubuh beloh dibuka. Berangkat dari
ulasan diatas, kita mencoba mengkaitkannya dengan berbagai persoalan perempuan
yang problematik, krusial dan kontroversial pada era kekiniaan. Untuk menjawab
persoalan di atas --secara tidak lansung-- telah tercaver dalam tulisan --pengantar--
diawal karena itulah pandangan wacana Islam terhadap teologi gender secara global.
Dari ayat di atas, jelas bahwa tabiat kemanusian antara laki-laki dan perempuan --
hampir dikata-- adalah sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua
dianugerahkan Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung
jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin tersebut dapat melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus, oleh karena itu hukum-hukum
syariah pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka, yang satu (laki-laki) menjual
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang lain (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum serta menuntut dan menyaksikan.
Kendati demikian tidak sedikit faktor yang mengaburkan keistimewaan dan
memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan
pengetahuan keagamaan sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk
pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.
Dalam Al-Qur’an secara konkrit (lafdhiyah) tidak ditemukan kata yang berarti gender,
akan tetapi jika yang dimaksudkan gender itu adalah istilah yang ditujukan untuk
membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa ayat didalam
Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan istilah tersebut. Misalkan untuk
mengungkap jenis laki-laki Al-Qur’an menggunakan istilah "al-Rijal’ dalam berbagai
bentuk yang terulang sebanyak 57 kali. Begitu pula dengan istilah yang digunakan
untuk mengungkap jenis perempuan dengan menggunakan istilah "al-Nisa’" yang
disebut pula sebanyak 57 kali.
Begitu juga dalam Al-Qur’an asal usul dan proses kejadian perempuan tidak
dijelaskan secara konkrit dan terperinci, bahkan nama Hawa yang dipersepsikan
sebagai perempuan pertama dan sekaligus menjadi istri Adam --yang nota benenya
mirip dengan cerita yang ada dalam kitab kejadian lama (Al-Kitab)-- sama sekali
tidak pernah disinggung dalam Al-Qur’an, justeru keterangan yang terkait dengan ini
adalah ditemukan dalam hadits, misalkan;
Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari taman Adn lalu didalamnya ditempatkan
Adam, karena ia tidak mempunyai teman maka Allah menidurkannya, lalu mengambil
unsur dari tulang rusuk kirinya kemudian menggantikan daging ditempat semula,
kemudia menciptakan Hawa daripadanya. Ketika bangun Adam menemukan seorang
perempuan disampingnya, Adam bertanya, siapa anda?. Hawa menjawab,
"perempuan" Adam kem,bali bertanya, mengapa engkau diciptakan?. Hawa
menjawab supaya engkau mendapat kesenangan dari diri saya. Para Malaikat
bertanya, siapakah namanya?. Dia menjawab hawa, mengapa dipanggil Hawa?.
Karena diciptakan dari sebuah benda hidup.
Dan juga hadits;
Jagalah perempuan itu baik-baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk,
bagian tulang rusuk yang paling rapuh adalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha
meluruskannya, ia akan patah, jika engkau membiarkannya, maka ia akan terus
bengkok, oleh karena itu jagalah perempuan baik-baik .
Namun untuk hadits tersebut para ulama masih mempersoalkannya, karena dari segi
matannya, hadits tersebut bersimpangan dengan nash Al-Qur’an (khususnya surat al-
Nisa’;1).
Kata "minha" dalam ayat tersebut, jumhur ulama (mufassir) menafsirkannya dengan
"dari bagian tubuh Adam", tapi apakah yang dimaksud dengan bagian dari tubuh
Adam itu "tulang rusuk". Diantara sekian mufassir yang tidak setuju dengan arti
demikian adalah Muhammad Al-Razi (dalam tafsirnya Al-Razi), mengatakan: yang
dimaksud dengan "dan daripadanya Allah menciptakan zaujnya", sekiranya Hawa
adalah manusia pertama yang diciptakan dari tulang rusuk, maka niscaya manusia
diciptakan daru dua nafs, bukan dari satu nafs sebagaimana ayat di atas. Oleh karena
itu jika kamu sekalian diciptakan dari nafs yang satu, dan Allah dengan kehendaknya
menciptakan Adam dari tanah (turab), maka dengan kehendaknya juga Allah
menciptakan hawa dari tanah, jika demikian adanya, maka apa gunanya mengatakan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Memang dari segi sanad hadits tersebut --kemungkinan besar-- dalam kategori
"shahih", tapi apakah kemudian kita menerimanya dengan secara harfiyah apa adanya.
Dari sisi yang lain para ulama memberikan tekanan pada hadits tersebut --karena
secara matan bertentangan dengan Al-Qur’an-- bahwa yang dimaksud dengan "tulang
rusuk" yang bengkok harus dipahami secara majazi, yaitu memperingatkan kepada
kaum laki-laki agar berbuat bijaksana dalam menghadapi perempuan.
Konsep teologis lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam kerangka ini
adalah adanya citra negatif yang diberikan pada permpuan bahwa Hawa sebagai
penyebab kejatuhan Adam dari surga dengan rayuannya sehingga ia memakan buah
khuldi. Asumsi yang demikian pada gilirannya ditimpahkan kepada kaum hawa
sehingga perempuan dianggap senantiasa berada dibawah otoritas dan dominasi lakilaki.
Tapi benarkah Al-Qur’an menjelaskan demikian?.
Mari kita lihat dalam Al-Qur’an (2);36 dan (7);20-24 justeru menunjukkan d}lami>r
tathni>yah (yang berarti dua), yaitu berbentu "huma" yang dengan sendirinya tidak
ditujukan pada Hawa, melainkan keduanya (Adam dan Hawa). Dengan demikian
tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an dan hadits yang mengisyaratkan Hawa sebagi
penyebab utama terjadinya kasus Adam tersebut, bahkan rasa penyesalannya pun
dinyatakan bersama-sama dan akhirnya Allah mengampuni keduanya.
Selain dari kedua contoh di atas, ada satu persoalan yang pada saat ini banyak
mendapat anggapan publik bahwa dengan dasar itu mereka beragumentasi dan
berdalih bahwa laki-lakilah yang berhak menjadi pemimpin. Dasar yang dijadikan
acuan mereka adalah Al-Qur’an (4);34, yaitu "al-Rijaalu Qawwaamuuna "ala al-Nisa’
bimaa Fadldlalallahu wa bima Anfaqu". Benarkah anggapan yang demikian?.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita cermati ayat tersebut dari dua
sudut pandang, yaitu asbabub nuzul dan proses penafsirannya. Pertama; Dari segi
asbabun nuzul, maka jelas ayat tersebut diturunkan ketika salah seorang sahabat Nabi
menganiaya istrinya, lalu dengan rasa tidak terima atas perlakuan tersebut ia
menghadap Rasulullah seraya mengadukan peristiwa yang telah dialaminya.
Mendengar cerita wanita itu --sambil menahan rasa marah-- Nabi memerintahkan
kepada salah seorang sahabat untuk memanggil suami tersebut, kemudian turunlah
ayat diatas sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga dan
mengayomi kepada perempuan, Maka dengan sendirinya ayat ini memberikan
peringatan pada kaum laki-laki agar dapat memberlakukan perempuan dengan baik
dan memberi nafkah guna proses generasi dalam keluarga.
Kemudian dari sisi penafsiran --kita sejenak menengok kajian tafsir, dalam ilmu tafsir
dikenal istilaf "tafsir al-ayat bi al-ayat" (metode penafsiran pada sebuah ayat yang
telah diberikan penafsiran sendiri oleh ayat yang lain, tanpa membutuhkan penafsiran
lebih lanjut dari ahli tafsir). Kalau kita perhatikan secara seksama ayat di atas –secara
tekstual-- menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan,
akan tetapi jangan kemudian diberhentikan sampai –cukup-- kalimat di situ, tapi harus
dilanjutkan pada kalimat selanjutnya (karena kalimat selanjutnya adalah sebagai
penafsirannya), yaitu "Bima Fadldlalallahu wa bima Anfaqu", bahwa laki-laki
menjadi pemimpin bagi perempuan itu karena dua sebab, pertama, (bima
Fadldlallahu), karena Allah memberikan kelebihan (anugerah) kepada sebagian dari
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (perempuan). Kedua, (wa bima
Anfaqu), karena laki-laki mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada
perempuan.
Kata "Fadldlala" dalam ayat tersebut berarti bahwa dari segi fisik laki-laki diciptakan
dengan susunan organ tubuh yang lebih kuat daripada perempuan dan atau dari segi
biologis perempuan diberikan keterbatasan-keterbatasan seperti mngandung,
melahirkan, menyusui dan datangnya tamu setiap bulan. Tapi manakala perempuan
dapat mengatasi dan membatasi keadaan-keadaan yang tidak dapat dihindari tersebut
dan juga didukung oleh kemampuan diri yang bagus, tidak menutup kemungkinan ia
menjadi pemimpin, toh secara empiris tidak sedikit wanita yang mampu mengeliminir
keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan langkah antisipatif pada suatu kondisi dan
banyak pula perempuan yang kemampuan intelektual dan atau penghasilannya yang
melebihi laki-laki.
Dengan demikian ayat tersebut justeru mengakui keberadaan laki-laki dan perempuan,
bahwa keduanya adalah mahkluk yang mempunyai status yang sama baik dalam
kapasitasnya sebagai hamba Allah (mengabdi) maupun sebagai wakil Allah di bumi
(khalifah). Antara yang satu dengan yang lain tidak terdapat superioritas baik dari segi
asal usul kejadiannya maupun struktur sosial dalam masyarakat. Dengan demikian,
prinsip murni dalam Al-Qur’an adalah kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan
sebagaimana ditunjukkan oleh adanya tanggung jawab yang sama di hadapan Allah
pada hari pembalasan .
Kesimpulan
Berangkat dari paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Bahwa adanya
asumsi-asumsi atau ketetapan yang salama ini dianggap benar dengan
mengatasnamakan ajaran agama tentang eksistensi perempuan dalam kehidupan
sosial, ternyata "kurang benar" dan krusialnya masalah ini hampir sama dengan
masalah KB yang awal kehadirannya juga dilarang keras oleh para ulama, justeru
dengan kebijakan di atas agama hadir sebagai elemen yang mendorong proses
lahirnya perkembangan keilmuan dan perubahan sosial.
Akhirnya kajian-kajian lain yang sepadan dengan kasus di atas pada kelanjutannya
akan banyak muncul dan lahir di sekeliling kehidupan manusia, di situla peran agama
dipertaruhkan. Benarkah Islam sebagai agama "Rahmatan li al-‘Alamin, sehingga kita
akan menemukan jati diri Islam sebagai agama yang paripurna.
0 komentar