Biografi Muhammad Hanif Dhakiri
Ia adalah aktivis-politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berasal dari Kota Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini dirinya mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI. Pria yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah X ini dikenal sebagai pribadi yang bersahabat,
memiliki motivasi, dedikasi dan integritas yang tinggi dalam bekerja, serta merupakan pekerja politik yang profesional dan aktivis yang gigih.
Di lingkungan PKB, selain duduk sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKB (2005-2010) dan Wakil Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Garda Bangsa (2006-2011), Hanif –sapaan akrab pemuda 36 tahun ini—juga dikenal sebagai konseptor dan ideolog partai.
Terlibat di PKB semenjak partai besutan para kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu didirikan pada 1998 dan tak pernah putus hingga saat ini.
Ia merupakan salah satu perumus dasar-dasar kepartaian PKB, termasuk menulis AD/ART PKB, naskah deklarasi, platform politik PKB yang dinamainya Garis-garis Besar Perjuangan Partai (GBPP) dan mendesain logo PKB yang tadinya diwarnai dengan warna biru PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Tentu dengan gambar dasar yang khas NU: bola dunia dan bintang sembilan!
Hal itu dimungkinkannya karena ia adalah salah satu lingkaran inti H. Matori Abdul Djalil, politisi terkemuka NU saat itu, yang diberi kepercayaan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) --Ketua Umum PBNU saat itu-- untuk menahkodai kapal besar PKB untuk pertama kalinya.
Tak pelak, bagi Hanif, Matori yang telah membawanya berkelana ke Jakarta adalah salah satu guru politiknya. Kendati demikian, belakangan setelah Matori berseteru dengan Gus Dur, Hanif memilih “menderita” bersama Gus Dur –guru politik dan ideologinya-- yang jatuh dari kursi kepresidenan ketimbang bersama Matori yang sedang mendapatkan promosi sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Megawati Soekarnoputri.
Alasannya sederhana: “Demi NU dan demi bangsa, Gus Dur harus dibela”, katanya saat itu. Praktis lelaki lulusan IAIN Walisongo Salatiga itu ikut Matori pada saat yang bersangkutan “menderita” karena di luar pagar kekuasaan politik negara, dan ikut Gus Dur pada saat ia juga “menderita” karena kehilangan kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2001 silam.
Sebagai salah satu ideolog PKB, Hanif Dhakiri bersama beberapa koleganya di partai telah menulis sejumlah buku kaderisasi yang dipakai sebagai panduan kaderisasi politik partai di seluruh belahan Nusantara. Tak sebatas itu, ia juga turun ke lapangan melakukan kaderisasi langsung ke lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia untuk berdiskusi, melakukan pelatihan dan berbagi pengalaman bersama kader-kader PKB di daerah, baik mereka yang aktif di partai, di lingkungan keluarga besar NU-PKB, maupun yang aktif di badan legislatif. Beberapa topik yang dibawakannya dalam pelbagai pendidikan dan pelatihan kader itu antara lain: manajemen partai, komunikasi politik, perencanaan strategi, kampanye politik, politik anggaran dan legislasi, dan lain-lain. Yang menarik, dalam setiap kesempatan bertemu dengan kader-kader PKB dan NU pada umumnya, Hanif selalu menginjeksi mereka dengan energi politik yang disebutnya sebagai “dendam sejarah” NU.
Menurut Hanif, “dendam sejarah” NU adalah kristalisasi dari sejarah penghancuran gerakan multi-sektoral NU di masa lalu yang harus menjadi cambuk bagi seluruh gerakan lintas sektoral NU dan juga PKB untuk merebut hak sejarah NU memimpin republik ini. Hanif membayangkan kalau saja gerakan Ma’arif NU dulu tak dihancurkan, pasti generasi muda NU sekarang akan banyak yang berpendidikan tinggi dan NU akan memiliki lembaga pendidikan yang kuat dan berpengaruh. “Mungkin saja saya bukan lagi lulusan IAIN, melainkan lulusan universitas terkemuka di Eropa, Amerika atau Timur Tengah”, katanya.
Demikian pula, kalau gerakan militer NU dulu tak dihancurkan, tentu akan banyak generasi NU yang menjadi perwira tinggi di militer atau kepolisian sekarang ini. “Mungkin saya bukan lagi anak seorang PNS rendahan, melainkan cucu seorang jenderal!”, komentarnya lanjut. Lihat juga, Hanif menambahkan, kalau gerakan Nahdlatut Tujjar alias gerakan ekonomi dan perdagangan NU dulu tak dihancurkan, seburuk-buruknya nasib generasi NU sekarang adalah keturunan saudagar kaya di republik ini. Generasi muda NU sekarang tentu banyak yang akan menjadi kaum profesional dan mayoritas warga NU tak lagi dikungkung problem kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam soal politik, nasib NU di masa lalu juga setali tiga uang. Ia dihancurkan dan karenanya politik NU hari ini masih terus saja “menanam”, padahal semestinya sudah saatnya “menuai”.
Dalam pandangan Hanif, “dendam sejarah” NU itu perlu disinergikan dengan sejarah kepeloporan NU berikut tokoh-tokohnya. “Indonesia tak akan pernah menjadi Indonesia yang sebenarnya tanpa ketokohan dan keperanan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dan sekian banyak ulama NU lain yang berkontribusi besar terhadap pembentukan dasar-dasar nation-state Indonesia.
Tak terkecuali keputusan-keputusan resmi NU yang sarat dengan ekspresi nasionalisme, pluralisme, hingga masalah keseharian yang erat dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat”. “Dendam sejarah”, kata Hanif, harus melahirkan energi politik yang menjadi nalar gerak aktivis-aktivis NU pada umumnya. Sedangkan sejarah kepeloporan NU masa lalu, harus bisa menumbuhkan kepercayaan diri kalangan NU untuk tampil memimpin dan merebut hak sejarah untuk turut mengatur republik ini. Dari sinilah Hanif memiliki obsesi untuk merintis dan membangun teknokrasi politik NU masa depan yang berbasis pada pengembangan sumber daya manusia, penguatan jaringan sosial, ekonomi dan politik, hingga pemeliharaan tradisi Nusantara yang kian digerus oleh arus globalisasi dan konsumerisme pasar.
Meski tergolong masih muda, perjalanan politik Hanif Dhakiri cukup panjang. Ia memulai aktivitas politiknya dari jalur gerakan mahasiswa pada awal 90-an. Dari kampus kecil di bilangan Kota Salatiga, ia membangun gerakan mahasiswa dan gerakan advokasi kerakyatan dengan melakukan pengorganisasian dan pendampingan intensif terhadap kelompok masyarakat rentan. Melalui lembaganya, Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS), dan organ gerakan kemahasiswaannya, Solidaritas Mahasiswa Salatiga (SMSt), Hanif terlibat dalam sejumlah aksi politik melawan kediktatoran rezim Orde Baru di daerah dan melakukan pendampingan petani, buruh, kaum miskin kota (urban poor), santri hingga pemuda penganggur. Bersama sejumlah koleganya, ia menginisiasi pembentukan organisasi rakyat, melakukan pendidikan politik dan pelatihan ketrampilan, mengusung pilot proyek pemberdayaan masyarakat, membangun koperasi-koperasi usaha bersama dan lain sebagainya. Muaranya satu, yakni mengokohkan kemandirian ekonomi dan politik rakyat dalam keberhadapannya dengan negara dan modal yang pada saat itu terlalu kuat. Menurut Hanif, negara maupun modal menjadi tidak manusiawi kalau terlalu kuat. Rakyat juga menjadi tidak manusiawa kalau terlalu lemah. “Kita butuh negara dan modal yang kuat, tetapi pada saat yang sama kita juga butuh rakyat yang kuat”, demikian pendapatnya.
Semasa mahasiswa, selain dikenal luas di luar Kota Salatiga, Hanif Dhakiri adalah perintis dari dan aktif dalam beberapa kelompok strategis di kampusnya. Ia mendirikan Majalah Mahasiswa DINAMIKA yang sangat kritis terhadap pemerintah dan kebijakan kampusnya; memfasilitasi kaderisasi regular mahasiswa untuk terjun ke gerakan mahasiswa melalui JSTS dan SMSt; mengembangkan kelompok pecinta alam MITTAPASA, nguri-nguri Teater GETAR milik IAIN Salatiga dan aktif sebagai pemain teater hingga belakangan menjadi penulis naskah teater dan sutradara; menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab dan pengurus dari Walisongo English Club; dan lain sebagainya.
Di luar kampus, sebagaimana laiknya aktivis gerakan mahasiswa, lelaki yang pernah mengenyam pendidikan S-2 di Universitas Indonesia ini, aktif di pelbagai komite aksi dan pengorganisasian rakyat di pelbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya. Dan, sebagai orang NU, Hanif tentu saja aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ia pernah menjadi Ketua Komisariat IAIN Salatiga (1991-1992), Ketua PC PMII Salatiga (1994-1995), Anggota Pleno Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah (1995-1996) dan Ketua Lembaga Studi dan Advokasi Buruh (LSAB) Pengurus Besar (PB) PMII (1997-2000). Pada tahun 2000, Hanif mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PB PMII dalam kongresnya yang ketigabelas di Medan. Nasib baik rupanya belum berpihak padanya, sehingga ia belum berhasil menjadi Ketua Umum PMII. Kendatipun demikian, kongres PMII itu telah memberinya pengalaman politik langsung berskala nasional dalam ujian kepemimpinan dan mencatat periode paling dramatis dalam sejarah kongres PMII dimana banjir air mata ribuan pendukungnya tak terelakkan pada saat ia dinyatakan ketinggalan empat suara dari pesaing utamanya. Ini terjadi karena Hanif mengembangkan semangat perkawanan ideologis bersama para pendukungnya yang hendak mengusung PMII sebagai organisasi yang memiliki kepemimpinan moral, kepemimpinan intelektual dan kepemimpinan politik masa depan dengan sinergi pemikiran keislaman yang moderat dan keindonesian yang multikultural.
Pemikiran dan kiprah politik Hanif tak bisa dilepaskan dari komunitas NU, dunia pesantren dan lingkungan kiai yang merupakan jagad kecilnya, disamping komunitas kebangsaan Indonesia yang nota bene adalah jagad besarnya. Ini terjadi karena Hanif bukan saja lahir dalam keluarga NU yang mendidiknya dengan nilai-nilai dan tradisi ke-NU-an yang ketat, tetapi lebih dari itu karena ia juga sempat mengenyam pendidikan pesantren dengan mengaji kitab kuning dan bergumul dengan tradisi-tradisi komunitas pesantren. Ia tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren Sirajul Muhlasin, Payaman Magelang asuhan KH. Muhlasin; Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan Surakarta asuhan KH. Rozak Shofawi dan Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Kabupaten Semarang asuhan KH. Mahfudz Ridwan. Di pesantren itulah Hanif memperdalam wawasan keagamaannya dan menginternalisasi nilai-nilai dan kultur NU yang menurutnya sangat arif terhadap kehidupan dan realitas sosial masyarakat.
Sebelum menduduki jabatan strategis di DPP PKB, Hanif bekerja selama dua tahun di NDI-Indonesia (the National Democratic Institutute), sebuah LSM Internasional yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Amerika Serikat dan berbasis di Washinton, DC. Melalui NDI, Hanif mendorong pelbagai bentuk reformasi demokratis di lembaga legislatif pusat (DPR, Dewan Perwakilan Rakyat) maupun daerah (DPRD, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta terlibat dalam sejumlah program pemantauan pemilu dan penguatan kapasitas partai politik.
Beberapa tahun sebelumnya, Hanif juga pernah bekerja sebagai konsultan dan partner dari Friedrich Naumann-Stiftung (FNS), sebuah yayasan politik internasional yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Bebas (Free Democratic Party) Jerman. Bersama FNS, ia mengembangkan sejumlah program penguatan partai politik, parlemen dan masyarakat sipil di Indonesia. Kerja-kerjanya bersama FNS dan NDI itulah yang membuatnya memiliki jaringan politik dan kemasyarakatan yang lebih luas baik Indonesia maupun di mancanegara.
Bertolak dari kiprahnya sebagai aktivis mahasiswa sejak 90-an, Hanif memulai karirnya secara intensif sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) --dan selanjutnya sebagai politisi-- semenjak 1994. Ia bekerja sebagai privat consultant dengan konsentrasi isu yang cukup luas dan tidak terbatas pada: pemberdayaan masyarakat sipil, penguatan partai politik dan legislatif daerah, pewacanaan isu Islam dan demokrasi, pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu, persaingan usaha yang sehat, perencanaan strategis untuk institusi-institusi publik, manajemen kampanye politik dan lain-lain. Diantara partner-partnernya adalah the Asia Foundation (TAF), Friedrich Naumann Stiftung (FNS), International Republican Institute (IRI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam negeri.
Pada tahun 1999, Hanif turut mengelola program pendidikan pemilih dan pemantauan pemilu di Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur di bawah bendera JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang melibatkan lebih dari 22.000 relawan. Ia juga terlibat sebagai pendiri dan pengurus sejumlah LSM, antara lain: WALHI Jawa Tengah; Jaringan Studi dan Transformasi Sosial (JSTS) Salatiga, Jawa Tengah; Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan (NADIKA) Jawa Tengah; Lembaga Studi dan Advokasi Buruh (LSAB) Jakarta; Institute for Social Institutions Studies (ISIS) Jakarta; Komite Anti-Diskriminasi Indonesia (KADI) Jakarta; Monopoly Watch Jakarta, Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA) dan lain-lain.
Setahun sebelumnya (1998), Hanif juga terlibat dalam pelbagai bentuk diskusi dan demonstrasi menumbangkan Rezim Orde Baru Suharto sebagai bagian dari perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme dan promosi reformasi demokratis. Masa-masa sesudahnya, selain bekerja dan menjadi konsultan politik PKB, Hanif juga terlibat dalam pendirian dan pengurus awal dari Pergerakan Indonesia, sebuah organisasi gerakan politik yang dimotori oleh aktivis-aktivis mahasiswa lintas generasi dan tokoh-tokoh nasional lintas profesi, dipimpin oleh Faisal H. Basri, seorang ekonom terkemuka di Indonesia.
Sejak tahun 1997-2001 ia telah berpartisipasi dalam studi-studi komparatif mengenai sistem politik Amerika Serikat, Jerman, Afrika Selatan dan Korea Selatan. Hanif juga merupakan alumni dari Forum for Democratic Leaders in the Asia-Pacific (FDLAP), sebuah forum komunikasi pemimpin muda Asia-Pasifik yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, yang difasilitasi oleh The Kim Dae Jung Peace Foundation. Selain itu, ia juga alumni dan partisipan Executive Meetings dari Councils of Asian Liberals and Democrats (CALD), salah satu organisasi kaum liberal demokrat di Asia yang berbasis di Manila, Philipina.
Pada kurun 2005-2006, Hanif dengan beberapa koleganya di PKB melakukan perjalanan politik ke Asia: Malaysia, Thailand dan Singapura dalam rangka pengembangan sistem dan manajemen kepartaian. Belum lama ini, tepatnya November 2008, Hanif berpartisipasi dalam workshop partai politik dan organisasi non-pemerintah di Gummersbach, Jerman yang melibatkan wakil-wakil partai dan LSM dari 21 negara di Asia, Eropa Barat, Amerika Latin dan negara-negara di belahan Eropa Timur.
Jika ditanyakan mengenai hobinya, suami dari Ma’rifah Abdullah dan ayah dari Nabiela Setia Izzati (Abel, 9 tahun) dan Neilan Setia Izzata (Elang, 4 tahun) ini mengaku menyukai nonton film, baca buku, internet dan musik. Hobinya itu sanggup memasungnya untuk diam di rumah selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Dalam dunia tulis-menulis, Hanif telah menulis beberapa buku dan artikel, diantaranya: Menggagas Fiqh Perburuhan (1999), Paulo Freire, Islam dan Pembebasan (2000), Post-tradisionalisme Islam (2000), Politik Melayani Basis (2001), Menjadi Politisi Manajer (2001), Kiai Kampung dan Demokrasi Lokal (2007), Mengapa Memilih PKB? (2008). Ia juga menyunting dan menyumbang sejumlah tulisan dalam beberapa buku yang diterbitkan Kompas, LP3ES, Pustaka Ciganjur, Isisindo Mediatama, dan penerbit-penerbit lain.
Di kala senggang, ia masih menyempatkan diri menulis karangan populer untuk koran-koran terkemuka seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat dan koran harian di daerah.
Category : Tokoh
Mantap!!!
ReplyDelete