Kemandirian, Dasar Martabat Bangsa
Sri-Edi Swasono
Ide dan Tekad Mandiri Sejak Pra-Kemerdekaan
Menimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda (Indische Vereeniging kemudian menjadi Indonesische Vereeniging) pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa tiap-tiap orang Indonesia harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai maksud itu dengan kekuatan dan kemampuannya sendiri, terlepas dan bantuan orang lain.
Di dalam berbagai tulisannya, Mohammad Hatta menyatakan prinsip non-kooperatif yang dianut Perhimpunan Indonesia itulah yang telah ikut memasyhurkan perhimpunan ini di kalangan rakyat Indonesia, khususnya di antara para cendekiawan Indonesia. Mengutip pernyataan Mohammad Hatta tahun 1925:
“..Dengan memakai prinsip non-kooperatif, Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sentdiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang. Perhimpunan Indonesia ingin mendidik bangsanya sendiri dan membuatnya kukuh kuat…”. [iii]
[iii] Mohammad Hatta, Berpartisipasi dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia, alih bahasa Sri-Edi Swasono, (Jakarta: Yayasan Idayu 1974), hlm. 10)
Selanjutnya dapat dikutipkan:
"... untuk dapat melaksanakan gerakan non-kooperatif di Indonesia, Perhimpunan Indonesia menekankan kepada anggota-anggotanya pada segala kesempatan, mereka harus bersiap diri menghadapi kesulitan-kesulitan politis dalam kehidupan masa depan mereka, seperti penahanan-penahanan, penjara, pembuangan, dan sebagainya...”. [iv]
[iv] Loc. cit.
Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925 ini [v]
[v] Sartono Kartodihardjo (wawancara pnibadi 1989 dengan penulis).
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun. [vi]
[vi] Loc. cit.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta Ke Arah Indonesia Merdeka (1932) mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri...”. [vii]
[vii] Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, 1932 (Jakarta: Dekopin, 1994)
Kemudian Mohammad Hatta menegaskan pula:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat… “ [viii]
[viii] Daulat Ra’jat 20/30 September 1932
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordnasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut onafhankelijkheid dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Kemerdekaan, kemandirian dan martabat suatu bangsa memperoleh hakikat rahmatan lil alamin yang hanya dapat dipahami oleh bangsa yang mampu mengenal harga diri dan percaya diri. Humanisme, humanisasi dan emansipasi diri semacam ini bersumber pada taukhid. Ketidakmandirian atau afhankelijkheid menyalahi kodrat menjaga martabat dan harga din sebagal khalifatullah.
Peradaban pasca Zaman Kegelapan mampu melahirkan dan sekaligus menghormati Magna Charta Libertatum yang dipancangkan di Abad Pentengahan (1215) sebagai awal semangat demokrasi dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan kekuasaan negara, yang berkelanjutan dengan lahirnya Bill of Right Britania (1689). Linier dengan ini kita mengenal pula dalam jajaran peradaban modern Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen yang kemudian menjadi Preambul UUD Perancis 1791 (Mohammad Hatta telah mengulas declaration ini dengan tajam di Daulat Ra’jat 30 November 1931). Tentu declaration Perancis ini berpengaruh langsung terhadap lahirnya The Declaration of Independence Amerika Serikat yang awalnya dinyatakan oleh Thomas Jefferson, yang membuahkan dalil unalienable rights of life, liberty and the pursuit of happeness, bahwa all men are created equal. Bagi Mohammad Hatta yang berjiwa pembebasan dan demokrasi, tidak sulit pula berdasarkan keyakinan yang sama untuk memanfaatkan doktrin Woodrow Wilson tentang the right of self-determination, yang kemudian masuk ke dalam Leage of Nations Covenant dan selanjutnya lebih terelaborasi dalam The United Nations Charter. Peradaban modern ini nampak pula ikut mewarnai titik-tolak perjuangan Mohammad Hatta.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
“... Merdeka tidak tergantung pada jumlah jiwa yang melek huruf, tetapi pertama-tama adalah soal adanya lembaga-lembaga demokrasi dan semangat kaum intelektualnya ... Indonesia dapat memenuhi kedua syarat ini. Semboyan ‘tidak masak’ (untuk merdeka) adalah suatu khayalan Belanda untuk meninabobokan hati nuraninya yang gelisah dan menutupi keserakahannya maka mungkin sekali ia akan bertanya, apakah sebab negara-negara seperti Liberia, Abessinia, Hejaz, Yemen dan lain-lain ‘masak’ untuk memerintah sendiri, padahal di bidang kebudayaan dan kecerdasan negara-negara itu jelas terbelakang dibandingkan dengan Indonesia? ... Apa yang dilakukan oleh Amerika untuk Filipina dalam waktu hanya 18 tahun, tidak dapat dicapai oleh Nederland setelah tiga abad …” [ix]
[ix] Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, pembelaan di Pengadilan Den Haag 1928 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 92.
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah. [x]
[x] Ibid, hlm. 93.
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera”. [xi]
[xi] “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, Pidato Wakil Presiden RI tanggal 3 Februani 1946, (lihat Sri-Edi Swasono, et al (eds.), Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI-Press, 1992) hlm. 5-8
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sistem dan praktek perekonomian zaman jajahan telah “memutar ujung menjadi pangkal”, membentuk ekonomi Hindia Belanda sebagal “export economie’, yang bertentangan dengan dasar perekonomian untuk mencukupi keperluan hidup rakyat. Menurut Mohammad Hatta ekspor adalah untuk membayar impor. Inilah tugas “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” untuk melepaskan ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekonomi negara-negara industri pengimpor bahan mentah. Dari sini jelaslah bahwa Mohammad Hatta (dan juga Sukarno) tergolong tokoh-tokoh strukturalis paling awal di Abad ke-20.
Peringatan Mohammad Hatta agar tidak “memutar ujung menjadi pangkal” banyak dikumandangkan oleh Adi Sasono dan Sritua Arief menjadi platform Dekopin, dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian di lingkungan ekonomi rakyat. Pernyataan Mohammad Hatta ini sekaligus merupakan kewaspadaannya terhadap ancaman akan neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi. Sritua Arief dalam berbagai bukunya mengenai kebijaksanaan ekonomi Indonesia mempertegasnya melalul analisis teoritis, yang didukung oleh kenyataan-kenyataan empirik berbagai negara berkembang, bahwa ekspor baru dapat berperan besar di dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional setelah pasaran dalam-negeri berkembang lebih dahulu. Dengan kata lain, ekspor merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi dalam-negeri, bukan sebaliknya. Mohammad Hatta mengantisipasikan sejak sebelum Indonesia merdeka, bahwa pada akhirnya, untuk situasi Indonesia, pertumbuhan ekspor tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan kemakmuran rakyat, apalagi kalau sektor ekspor secara substansial dikuasai oleh pihak asing. [xii]
[xii] Mohammad Hatta, Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, ditulis di Penjara Global (Batavia: Penerbit Sutan Lembaq Tuah, 1934), hlm.89
Dan hasil penelitian Singer (1982), Jung dan Marshall (1985) di negara-negara berkembang telah memberikan basis empirik terhadap antisipasi Mohammad Hatta sebagaimana yang dikutibkan oleh Sritua Arief [xiii]. Pasaran dalam-negerilah yang harus memperkukuh fondamental ekonomi Indonesia, yaitu fondamental ekonomi yang grassroots-based, yang berbasis pada kekuatan rakyat dalam-negeri.
[xiii] Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118.
Mohammad Hatta tajam dalam melihat ke depan. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam-negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya. Sejak awal kemerdekaan (Pidato Wakil Presiden 3 Februani 1946) Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934) [xiv].
[xiv] Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di masa Datang”, op. cit.; Mohammad Hatta, Kr Krisis Ekonomi dan Kapitalisme, op. cit.
Bagi Mahammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Sikap Mohammad Hatta ini acapkali diungkapkan oleh Soebadio Sastrosatomo, Sritua Anief dan Frans Seda dalam acara-acara peringatan rutin 12 Juli ataupun 12 Agustus. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Pendirian “Benteng Group” pada tahun 1950-an merupakan tujuan mulia untuk memandirikan dan memajukan perekonomian kelompok anak-negeri. Sayang sekali kepentingan partai sempat menumbuhkan nepotisme sempit yang merusak seleksi dan rekrutmen. Yang terbentuk adalah pengusaha-pengusaha “jago kandang” yang dengan mudah melepaskan kesempatan emas untuk “menjadi tuan di negeri sendiri” kepada kaum non-pribumi yang sudah lama siap menunggu. Maka jadilah pengusaha-pengusaha “Benteng Group” akibatnya pengusaha-pengusaha “aktentas” yang “Ali-Baba”.
Aknirnya pengalaman dalam bisnis-ekonomi sebagai modal utama, berpindah tangan. Mereka yang meraih pengalaman ini muncul menjadi komunitas eksklusif yang sangat mapan dan tangguh. Pemerintah tidak bisa lagi mengabaikannya sebagai kekuatan nasional baru dan tidak pula bisa menolak keberadaannya. Di sinilah awal dan babakan baru, “bulan-madu” antara Pemerintah dan swasta kuat. Lambat laun fenomena ini berkembang menjadi suatu kolaborasi kolusif, yang makin menonjol pada awal tahun 1980-an, sebagai awal dan apa yang saat ini kita kenal dengan KKN.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya” [xv].
[xv] Tersembul luapan-luapan keprihatinan yang tulus dan terang-terangan dari Mohammad Hatta sebagai sosok pribadi maupun pemimpin: Dalam sambutan terakhirnya kepada ISEI (sebelum wafatnya) tahun 1979, Mohammad Hatta menyatakan “…Pada masa akhir-akhir ini negara kita masih berdasarkan Pancasla dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sekarang menyimpang dari dasar itu ... Politik liberalisme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi dimonopoli oleh orang-orang Cina...“. Tentu Bung Hatta tidak bermaksud/bertendensi rasialisme dan memang beliau bukan seorang tokoh rasialis, namun sekedar lebih menekankan pada penyelewengan ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 dan kepentingan kaum pribumi yang mayoritas itu.
Kepada Mochtar Lubis, Mohammad Hatta menyatakan kecemasannya melihat betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam negeri kita, yang seharusnya berada dalam tangan bangsa Indonesia sendiri. Mohammad Hatta tahu benar, dalam distribusi barang di dalam-negeri, banyak modal-modal asing berselubung melakukan peranannya (surat Mochtar Lubis kepada Meutia Hatta). Meutia Farida Swasono, Bung Hatta; Pribadinya dalam Kenangan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan/UI-Press, 1980) hlm.579-585.
Pola Produksi dan Tugas Restrukturisasi
Birokrasi yang lengah-budaya ini besar pengaruhnya dalam kehidupan ekonomi. Mewujudkan cita-cita kemandirian ekonomi, “membalik pangkal menjadi ujung kembali”, secara struktural merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional [xvi] artinya dengan secara sadar membentuk pola produksi nasional (pattern of production) yang berbasis sumber daya dalam-negeri sendiri, sama sekali terabaikan. Sektor manufacturing tanpa banyak diketahui tahu-tahu sudah makin tergantung pada luar-negeri, menjadi import dependent. Industri Indonesia yang makin besar porsinya dalam GDP makin menjadi kepanjangan tangan dari industri luar-negeri. Tingginya import contents (foreign contents) di dalam produk-produk manufaktur lebih merupakan ujud dependensi daripada ujud interdependensi dalam perdagangan luar-negeri Indonesia.
[xvi] Kita tetap berkiblat pada sistem ekonomi kolonial, yaitu sistem ekonomi individualistik (berdasar liberalisme). Sejak berlakunya UUD 1945 telah terjadi “dualisme” sistem ekonomi, di mana di samping Pasal 33 UUD 1945 (imperatif-normatif) yang berasas kebersamaan dan kekeluargaan (mutually and brotherhood,), masih tetap berlaku pula sistem hukum kolonial yang berasas perorangan (Wetboek van Koophandel, dll), mengingat Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang mestinya bersifat temporer terus dibiarkan berlaku bahkan dikembangkan seolah-olah permanen.
Tingginya import contents dalam produk-produk manufaktur kita, bukan saja karena kita tidak membangun ekonomi sesuai dengan kekayaan alam kita (resources based), tetapi adalah pula pengaruh dart para juragan “import-business” yang mempunyai kepentingan ekonomis secara mikro, yang acapkali bertentangan dengan upaya restrukturisasi ekonomi makro. Di berbagai tulisan, penulis telah membeberkan tentang peran sekelompok importir dan birokrat sebagai komprador asing, yang sadar atau tidak sadar mendistorsi usaha-usaha restrukturisasi ekonomi secara makro. Namun tidak mustahil bahwa ide restrukturisasi memang tidak dikenal atau tidak merupakan suatu political will yang nyata dan birokrasi (dan teknokrat) kita.
Tentu demikian pula, sama lengahnya kita dalam membentuk pola-konsumsi nasional. Konsumsi masyarakat makin terdikte untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang padat import-contents, yang tentunya atas beban ekonomi nasional. Import mindedness merajalela, demonstration effect yang konsumtif makin menjadi-jadi berkat hebatnya perang pasar dan periklanan canggih. Besarnya ketergantungan sektor manufaktur terhadap import-contents merupakan salah satu penyebab utama mengapa krisis moneter dengan hebatnya menerpurukkan perekonomian nasional, khusus perekonomian besar dengan segala dampak berentengnya itu. Kita menjadi kepanjangan tangan.
Oleh karena itu, kita tetap harus dapat dengan cermat membedakan antara upaya economic recovery (ala IMF dan kaum neo-klasikal) dengan reformatory economic recovery (makro) yang mengandung tujuan restrukturisasi ekonomi, yaitu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia [xvii]
[xvii] Paragrap ini dipetik dan tulisan bersama dengan Snitua Arief dan disempurnakan.
Penguasaan surplus ekonomi oleh pihak asing dan kompradornya di Indonesia terhadap strata bawah dalam struktur sosial dan konstelasi ekonomi, bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
“Kolonialisme baru” yang bertopeng globalisasi dan globalisme dengan turbo kapitalis asing sebagai aktor utama merupakan suatu living reality. Ini terjadi melalui proses pengembangan industni, baik industri substitusi impor maupun industri promosi ekspor. Indonesia kembali menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Pasar-bebas menjadi berhala baru yang secara absurd dianggap sebagai pendekar omniscient dan omnipotent, padahal pasar-bebas hanyalah sekedar instrumen ekonomi kaum globalis untuk memanfaatkan kelemahan struktural dalam perekonomian negara-negara berkembang.
Penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing dapat ditunjukkan dengan angka-angka berikut ini : Data neraca pembayaran menunjukkan bahwa selama periode 1973-1990 nilai kumulatif arus masuk investasi asing sebesar US$ 5,775 juta telah diiringi dengan nilal kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri sebesar US$ 58,839 juta (IMF, Balance of Payments Year Book, berbagai tahun). Ini berarti setiap US$ 1 investasi asing yang masuk telah diikuti dengan US$ 10.19 financial resources yang keluar (Sritua Anief, 1993). Kendatipun perbandingan antara penanaman investasi asing langsung dengan keuntungan yang diangkut dan Indonesia sedikit menurun sesudah tahun 1990, akan tetapi ini telah diikuti dengan meningkatnya investasi portfolio sehingga repatriasi keuntungan pihak asing yang diangkut dari Indonesia tetap menjadi penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Misalnya investasi asing langsung pada tahun 1994/95, 1995/96 dan 1996/97 adalah masing-masing besarnya US$ 2.6 milyar, US$ 5.4 milyar dan US$ 6.5 milyar. Sedangkan investasi portfolio pada tahun-tahun ini adalah US$ 2.3 milyar, US$ 3.3 milyar dan US$ 3.1 milyar. Investasi portfolio menimbulkan makin intensifnya keterlibatan pihak asing dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi di Indonesia.
Seperti telah dinyatakan di atas, keuntungan investasi asing yang direpatriasi adalah penyebab utama defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Data menunjukkan bahwa selama periode 1978/79 - 1995/96 nilai kumulatif defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran ni adalah sebesar US$ 43.4 milyar. Nilai ini telah bertambah dalam periode 1978/79 - 1998/99 menjadi US$ 58.4 milyar. Jadi bertambah sebesar US$ 15 milyar. Perlu dinyatakan di sini bahwa defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia diukur dalam persentase dan Produk Domestik Bruto (PDB) telah bertambah besar dari -1,6% pada tahun 1995/96 menjadi -2,7% pada tahun 1998/99.
Selama periode 1970-1980 telah diperkirakan adanya pelarian modal sebesar US$ 9.4 milyar, selama periode 1988-1991 pelarian modal telah ditaksir sebesar US$ 11.17 milyar dan selama periode 1996-1997 pelarian modal telah diperkirakan sebesar US$ 11.7 milyar (Mubarik Ahmad, 1993 dan Sritua Arief, 1997). Telah dilaporkan bahwa sejak Juli 1997 (pada waktu krisis moneter berlangsung) hingga sekarang sebanyak kira-kira US$ 80 milyar devisa telah dilarikan ke luar negeri.
Hutang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Sampai akhir tahun 1998 hutang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 milyar yang merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai hutang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 milyar sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dan Produk Domestik Bruto, hutang luar negeri bertambah. Apa maknanya ini? Maknanya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak termasuk para “penyamun” ekonomi) sebagai penanggung beban hutang ini sudah berada di bawah nilai hutang mi.
Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan hutang luar negeri sebesar US$ 41.4 milyar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemerintah telah menambah hutang luar negerinya sebesar US$ 69.4 milyar (laporan Bank Dunia tahun 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, hutang luar negeri sektor Pemerintah telah meningkat menjadi US$ 77.7 milyar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan hutang luar negeri makin besar nilai hutang luar negeri yang menumpuk. Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7.8 milyar dan selama periode 1994-1998 diperkirakan sebesar US$ 19 milyar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).
Ada beberapa butir lagi yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan hutang luar negeri, sebagai berikut: Dalam pengertian dialektik hubungan ekonomi antaraktor ekonomi, pemasok hutang luar negeri dan investor asing menjadi lebih berkuasa dalam memeras rakyat Indonesia, terutama yang berada di strata bawah dalam masyarakat Indonesia. Jelas ini menunjukkan bahwa Indonesia dan rakyatnya akan kembali menjadi koloni asing. Dan hutang luar negeri yang menumpuk telah berubah sifatnya dari perangkap menjadi bumerang. Bumerang dalam pengertian mempermiskin Indonesia dan rakyatnya.
Baiklah di sini dikemukakan garis-garis besar implikasi kebijaksanaan penemuan yang dikemukakan di atas. Pertama, pembayaran hutang luar negeri pemerintah harus dimintakan untuk diperingan atau dikurangi secara drastis diikuti dengan penjadualan pembayaran sisanya. Ini harus dilakukan agar pengeluaran pemerintah dimungkinkan untuk mendukung bidang-bidang pemberdayaan ekonomi rakyat. Jan Tinbergen telah pula menegaskan (1991) bahwa hutang negana-negara terbelakang yang mencapai US$ 1 trilyun (seluruh GDP mereka hanya US$ 3 trilyun) harus diselesaikan dengan menyisihkan minimal 0,7% GDP negana-negara donor, atau samasekali menyelesaikannya sekali saja dengan menyisihkan 2% GDP negara-negara donor dalam tenggang waktu tertentu. Ini demi kepentingan negara-negana donor sendiri. Kedua, menolak penggunaan dana negara atau dana masyarakat untuk membayar hutang-hutang perusahaan-perusahaan swasta. Untuk mencegah jatuhnya perusahaan-perusahaan swasta ini ke pihak asing, maka Indonesia sebagai negara berdaulat harus dapat membuat peraturan -peraturan yang restriktif. Apalagi dipercayai bahwa banyak dari hutang-hutang ini dijamin oleh dana-dana yang diparkir di luar negeri. Ketiga, meninjau kembali sistem pembiayaan pembangunan sehingga ketergantungan kepada pihak asing diminimumkan. Dalam hal ini bentuk pinjaman dan besar pinjaman dari pihak asing hendaklah kita tentukan sedemikian rupa sehingga kita tidak dikelabui.
Dengan demikian pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementer [xviii] jadi bersifat sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi [xix].
[xviii] Mohammad Hatta, Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia (Jakarta: Djambatan) him. 2-4.
[xix] Loc. cit.
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya [xx].
[xx] Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the cornmon people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap, bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Seperti dikemukakan (di catatan kaki 18), kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Dari pengertian mengenai demokrasi ekonomi seperti dikemukakan di atas, maka kita membedakan antara private interests dengan public interest. Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. BUMN sarat dengan makna kerakyatan dan bersifat publik. BUMN ada untuk menjaga hajat hidup orang banyak. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public’, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”. Go-public haruslah diatur (managed) untuk menjamin partisipasi nyata rakyat luas dalam kepemilikan aset nasional.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini.
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan, dst [xxi].
[xxi] Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga rupiah sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memper-purukkan” petani-petani kita, justru ketika petani kita sedang panen padi, kita malah mengimpor bet-as mut-ah dan luar negeri?
Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok penyandang/penguasa dana (termasuk para penerima titipan dana dan luar negeri/komprador, para pelaku KKN, tak terkecuali para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk para penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat awam yang tenaga-belinya lemah. Jadi pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama dan penentu pasar.
Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, pasar bukan tempat kita tergantung sepenuhnya, tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeUruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mendobrak ketimpangan struktural. Adalah naif mennanggap “pasar-bebas” adalah riil. Yang lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights dan tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar [xxii].
[xxii] Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945 hendaknya tidak dirubah, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah wathoniah di dalam perikehidupan bernegara, bahkan merupakan ukhuwah bashoriah di dalam berkeperikehidupan antar ummat di dunia yang menjadi kewajiban agama.
Pasar dan IMF Berhala Baru yang Dipuja
Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila pasar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai kaisar berdaufat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Padahal menegaskan bahwa rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.
Tidak saja pasar-bebas yang telah menjadi berhala yang dipuja, IMF pun menjadi - sesembahan baru pula, menjadi tuhan baru. Kita tunduk, kita mengagumi, kita tersubordinasi dan kita rela menjadi jongosnya. Kita merebut kemerdekaan tahun 1945. Lima tahun kemudian kita mampu menekan penjajah dan memperoleh pengakuan/penyerahan kedaulatan melalui KMB. Kita merdeka penuh, berdaulat dalam politik, baik secara de facto maupun de jure.
Kini, tahu-tahu saja kita secara de facto telah ter-subordinasi, terdikte, tunduk dan takut kita kehilangan kedaulatan itu. “Kedaulatan politik” kita ibarat menjadi formalitas, tanpa sukma merdeka. Belum lagi dua pasangannya dalam Tri Sakti, “mandiri dalam ekonomi” dan “berkepribadian dalam budaya” ternyata luntur pula [xxiii].
[xxiii] Penulis secara pribadi sempat menyampaikan sikap “protes” kepada Presiden Soeharto tatkala melihat Camdessus ber-silang tangan di dada, sedakep mengawasi Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent IMF yang disodorkan kepada beliau di rumah Cendana. Sebagaimana banyak orang Indonesia yang tahu harga diri, penulis tidak bisa pula menerima kecongkakan Camdessus. Lebih dari itu, “protes” penulis juga berkaitan dengan Letter of Intent yang banyak melanggar UUD 1945 (Pasal 33). Penulis tidak yakin Presiden Soeharto membaca seluruh isi Letter of Intent itu. Bagi penulis, itu menjadi tanggung jawab Prof. Widjojo Nitisastro yang nampak hadir dalam upacara penandatanganan di rumah Cendana. Dan situ Presiden Soeharto tidak lama kemudian menyampaikan gagasan tentang IMF plus, artinya IMF plus UUD 1945 (Pasal 33) untuk konsumsi politik dalam-negeri.
Mengenai sikap Presiden Soeharto selanjutnya, catatan dari penulis pada buku Dari Lengser ke Lengser (Jakarta UI Press, 2001, hlm. 402) adalah sebagai berikut: “... Sejak kecongkakan Carndessus itu Pak Harto secara mental nampaknya terpuruk, beliau biasa menjaga wibawa bangsa dan negara, menjaga pribadi beliau sendiri, IGGI beliau bubarkan, pembelian F-16 dari USA secara sepihak beliau batalkan. Sekarang beliau dijerumuskan oleh para komprador IMF untuk tunduk menandatangani Letter of Intent ... “ Kemudian itu kita amati, Pak Harto mulai melemah daya joangnya oleh ketergantungan ini.
Pemerintah saat ini tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kepada IMF dan Bank Dunia bahwa kedua lembaga dunia ini ikut bertanggungjawab terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, ikut menjerumuskan Indonesia dengan orthodoxy dan salah antisipasinya membaca gejala ekonomi. Ini perlu menjadi suatu justifikasi untuk meminta pembebasan hutang, pemotongan hutang ataupun penjadualan hutang tanpa beban. Kita ingat Wolfensohn tanpa malu mengakui bahwa ia kelewat optimis dalam mendorong investasi asing dan pengucuran kredit untuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia bahkan ikut tenggelam dalam over-optimism (baca: salah perhitungan) tentang Indonesia yang digolongkan sebagai masuk calon “Asian Miracle”dan “Asian Dragon”. Indonesia terjebak, mereka cuci-tangan bersama para komprador mereka.
“Skenario” mensubordinasi ekonomi Indonesia berjalan terus. Muncul cara-cara kotor untuk beramai-ramai menolak L/C Indonesia. Sekarang Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, terpaksa “diampu” (dianggap secara ekonomi “onbekwaam” oleh Singapura). Penulis memberi reaksi keras di media massa [xxiv].
[xxiv] Sri-Edi Swasono, “Kita Ditipu, Kita Diampu”, Harian Terbit, 5 Maret 1998.
Penulis sempat berpikir, adakah ini kelanjutan dari ditolak dan diremehkannya permintaan keringanan hukuman gantung bagi maninir kita, Harun dan Usman, kepada Pemerintah Singapura, yang mengakibatkan Moh Hatta “bersumpah” untuk tidak lagi menginjakkan kaki di Singapura untuk seumur hidupnya? Yang dilakukan Mohammad Hatta ini lebih dari sekedar demi alasan kemanusiaan sesuai peradaban yang berlaku, tetapi adalah tawaran good neighbour policy untuk saling hormat menghormati. Ternyata kita memilih memperpurukkan martabat dan harga diri kita, ketika tawaran Singapura mengampu L/C Indonesia dengan begitu saja kita terima, tanpa menanyakan lebih dahulu ikhwal dana besar Indonesia yang bersuaka.
Memprihatinkan sekali bahwa kita menyongsong sistem ekonomi pasar-bebas lebih berapi-api daripada orang-orang Utara. Kita praktekkan liberalisme dan kapitalisme di sini lebih hebat daripada di negara-negara Utara. Kita bahkan menjadi juru bicara sistem ekonomi pasar-bebas untuk kepentingan mereka.
Ketika kesepakatan GATT belum kita ratifikasi, kita pun telah tunduk melatih diri, ibarat “belum ditanya sudah mau”, kita “menari atas kendang orang lain” dengan mudahnya. Tidak hanya gampang kagum atau soft barangkali juga malah servile tetapi mengaku friendly atau low-profile.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Pasar-bebas bahkan diskriminatif terhadap yang rendah produktivitasnya (tidak efisien), akibatnya tidak mudah memperoleh alokasi kredit yang berdasar profitability itu. Pasar-bebas jelas melintangi hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan hanya menjadi penonton belaka, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar-bebas melahirkan privatisasi yang melepaskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan individu-individu. Pasar-bebas mencari keuntungan ekonomi bagi orang-seorang, bukan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pasar-bebas menggeser dan bahkan menggusur rakyat dari tanah dan usaha-usaha ekonominya. Pasar-bebas, yang terbukti tidak omniscient dan omnipotent mampu mengatasi bahkan memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial-ekonomi, memperenggang integrasi sosial dan persatuan nasional. Pasar-bebas memelihara sistem ekonomi subordinasi yang eksploitatif, non-partisipatif dan non-emansipatif, atas kerugian yang lemah. Kemudian pasar-bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorong lidah kita bicara palsu : anti subsidi dan anti proteksi secara membabi-buta, demi efisiensi. Pasar-bebas mereduksi manusia sebagai sumber daya insani menjadi sumber daya manusia atau faktor produksi ekonomi belaka. Dengan pasar-bebas maka people empowerment kelewat sering berubah menjadi people disempowerment.
Pemujaan dan penyandaran (reliance) pada pasar-bebas merupakan ujud dan parsialitas pemikiran ekonomi (mainstream) yang hanya mampu mengakui persaingan (competition) dan inisiatif individual sebagai penggerak kemajuan ekonomi global, mengabaikan kerjasama (cooperation) sebagai penggerak kekuatan ekonomi berdasar mutualitas antar individu yang tak kalah handalnya.
Dalam pemikiran ekonomi yang menganut pasar-bebas, efisiensi tak lain merupakan suatu “keterpaksaan ekonomi” untuk bertahan hidup dan meraih keuntungan ekonomi (lebih berdasar zero-sum daripada non-zero-sum), yang harus dicapai melalui bersaing. Sedang di dalam pemikiran ekonomi yang mengakui kerjasama mutualitas sebagai kekuatan ekonorni, maka efisiensi merupakan “kewajiban hidup berekonomi”. Ekonomi persaingan berjangkauan kepentingan parsial (nilai-tambah ekonomi), sedang ekonomi kerjasama berjangkauan kepentingan multi-parsial yang lebih lengkap dan menyeluruh (mencakup nilai-tambah ekonomi dan nilai-tambah sosial-kultural sekaligus).
Globalisasi dan pasar-bebas memang diimaginasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi global. Saat ini imaginasi itu ditumpukan kepada organisasi dunia WTO, pengganti GATT, yang mematok pakem-pakem ekonomi pasar untuk mencapai efisiensi global. Kenyataan yang ada membuat banyak di antara kita harus bersikap menolak dan reaksioner. Tentulah dalam prakteknya yang lemah harus membiayai efisiensi dunia demi kesejahteraan si kuat. Selatan membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara. Oleh karena itu pasar harus di-managed dikendalikan, agar ramah terhadap rakyat dan kepentingan nasional.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Globalisasi mulai banyak dikecam, karena menyandang adu kekuatan dan peragaan dominasi ekonomi, tak terkecuali oleh orang-orang Barat sendiri yang peduli akan pentingnya mewujudkan keadilan global. Tak terkecuali kecaman terhadap ketidakadilan ini datang dari kalangan akademisi Barat, NGO’s, mantan praktisi Bank Dunia dan IMF, pemenang hadiah Nobel Ekonomi (Joseph Stiglitz). Bahkan telah lahir buku tentang perlunya mewujudkan keadilan ekonomi global sebagai tantangan abad ke-21 [xxv].
[xxv] J.W. Smith, Economic Democracy; The Challence of the Twenty-First Century (New York: M.E. Sharpe, 2000).
Dalam WTO kita harus tetap reaksioner, berani merevisi dan membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tidak merugikan kepentingan nasional dengan tetap menghormati tanggung jawab global kita. Sekalipun sebagai ahli ekonomi kita harus mampu menghayati realita yang ditegaskan oleh ekonom terkemuka Inggris, Joan Robinson, bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism”. Artinya pengembangan pemikiran ekonomi nasional dalam konteks global pun, perlu mengacu kepada histori, ideologi, institusi dan aspirasi nasional, yang selanjutnya harus memberi warna terhadap theory building and modeling, menolak paham neutrality of theory. Henry Kissinger pun telah menegaskan bahwa “Globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika Serikat” (Trinity College, 1998).
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri (sunatullah). Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini [xxvi].
[xxvi] Sri-Edi Swasono, Ceramah Budaya, Mimeo, Dekopin, Jakarta, 12 Juli 1995.
Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Munculnya lembaga-lembaga kerjasama modern seperti Leage of Nations dan United Nations, berikut derivat-derivatnya, merupakan reaksi terhadap puncak persaingan destruktif dari dua Perang Dunia. Kerjasama global dan kesadaran global menggerakkan kembali dunia yang hancur oleh Perang Dunia itu. Saat ini kesadaran global itu memunculkan berbagai global common interests seperti social development eradication of poverty, employment creation, strengthening solidarity and social integration protection of environtment, dll bahkan sampai pada penangkalan bersama terhadap pelanggaran human rights dan terrorism dalam berbagai dimensinya (sebagaimana yang terpaku dalam berbagai konvensi dan keputusan PBB). Tanggung jawab ini harus secara bersama-sama digalang oleh seluruh negara di dunia.
Kerjasama dan kesadaran global ini harus dapat kita manfaatkan untuk melindungi kepentingan nasional kita. Akibat-akibat sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-kultural yang diakibatkan oleh persaingan bebas dan pasar-bebas seperti digambarkan di atas, jelaslah banyak bertentangan dengan global interests di atas.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar-negeri. Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya. Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang, yang dikatakan telah mengakibatkan the gap between the have and the have nots makin melebar. Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Reformasi dalam konteks kenegaraan tidak saja berarti pembaharuan menuju Indonesia maju dan terbentuknya civil society tetapi juga mengandung arti back to basics, kembali ke rel sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan Indonesia. Untuk itu reformasi perlu diselenggarakan berdasar platforms nasional yang tegas sebagai landasan berpijak. Berikut ini adalah platforms yang penulis ajukan untuk penyelenggaraan reformasi.
Platform Nasional - I
Manifesto Politik : Mempertahankan Indonesia Merdeka, Berdaulat dan Bersatu (menjunjung tinggi national sovereignity dan territorial integrity)
Manifesto Budaya : Menegakkan Bhinneka Tunggal Ika - pluralisme adalah aset nasional bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah “asas bersama” (bukan “asas tunggal”). Pancasila merupakan ikatan pemersatu ; bagi pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat.
Platform Nasional— II
Kemerdekaan berarti : berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya.
Platform Nasional— III
Kepentingan nasional adalah utama, tanpa mengabaikan tanggung jawab global, dengan menganut politik luar negeri “bebas aktif”.
Platform Nasional— IV
Yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara.
Pembangunan ekonomi adalah derivat untuk mendukung pembangunan rakyat, bangsa dan negara. Dalam bidang ekonomi pengembangan ekonomi rakyat memberi rnakna substantif terhadap platform ini.
Platform Nasional— V
Hubungan ekonomi nasional berdasar “kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau ukhuwah, bukan kinship, atau kekerabatan) yang partisipatif dan emansipatif. Keadilan yang genuine hanya bisa terwujud di dalam suasana kekeluargaan (brotherhood atau ukhuwah) itu.
Platform Nasional— VI
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok kehidupan rakyat, digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dari generasi ke generasi.
Platform Nasional— VII
Proaktif ikut mendisain ujud globalisasi, berposisi sebagai subyek, bukan obyek dalam globalisasi.
Platform Nasional—VIII
Untuk melaksanakan Otonomi Daerah dalam NKRI, kita harus tetap membangun Pemerintah Pusat yang kuat, yang kita tolak adalah Sentralisme Pusat.
Platform Nasional— IX
Yang kita tuju adalah “Pembangunan Indonesia” bukan sekedar “Pembangunan di Indonesia “.
Platform Nasonal— X
Hutang luar negeri bersifat pelengkap dan sementara. Investasi asing berdasar pada asas mutual benefit bukan predominasi (tidak overheersen).
Platforms di atas disusun dan dikembangkan dari pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta, terutama mengenai kebangsaan, kerakyatan, kedaulatan negara, keberdikarian, demokrasi ekonomi, politik luar negeri bebas-aktif, percaturan dan pertentangan global, otonomi daerah dan adagium Hatta “menjadi tuan di negeri sendiri”.
Tentu platforms di atas kalau perlu dapat ditambah lagi sesuai dengan perkembangan yang ada. Masalah selanjutnya adalah bagaimana platforms tersebut disosialisasikan agar dapat diterima sebagai paradigma reformasi, menuju kepentingan bersama, yaitu Indonesia yang Merdeka, Berdaulat dan Bersatu sebagai bangsa maju dalam kesetaraan global.***
________________________________________
Oleh: Prof. Dr. Sri-Edi Swasono -- Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[i] Disampaikan pada Seminar “Kemandirian Ekonomi Nasional”, diselenggarakan oleh Fraksi Utusan Golongan MPR RI Jakarta, 22 November 2002
0 komentar