Pendidikan Mencerdaskan, Bukan Memiskinkan

PMII CABANG KOTA SALATIGA | 8:25 PM | 0 komentar

Suara Merdeka Halaman Kampus
21 Agustus 2010
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/12/26/92767/Mahasiswa-Vs-Pendidikan-Kemasyarakatan
Pendidikan Mencerdaskan, Bukan Memiskinkan

* Oleh Anas Maulana

MUHAMMAD BASYIR, bocah 11 tahun, nekat menggantung diri di gerobak rokok kosong di kawasan Pasarminggu, Jakarta, Rabu, 14 Juli 2010. Alasan yang melatarbelakangi adalah ketidakmampuan keluarga untuk membiayai dia melanjutkan sekolah. Dia sangat kecewa atas keadaan itu sehingga merasa hidupnya sudah berakhir. Akhirnya dia pun mengakhir hidup di gerobak rokok; menggantung diri. Sungguh tragedi memilukan yang patut disesalkan siapa pun, terutama praktisi dan lembaga pendidikan. Kenapa?

Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Itu diatur dalam UUD 1945 Pasal 31, yakni setiap warga negara berhak mendapat pengajaran yang layak. Bahkan tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepada siapa seharusnya undang-undang itu berpihak? Tentu pada seluruh rakyat Indonesia. Namun realitasnya, tak ada pendidikan yang berpihak kepada rakyat miskin. Terbukti, tahun berganti, biaya pendidikan justru tak makin murah, malah kian mahal. Sebab, orientasi pendidikan di Indonesia adalah perbaikan mutu dan itu sama dengan mahal. Pendidikan adalah untuk orang-orang yang mampu membayar.
Niat Baik Pemerintah sebenarnya telah menunjukkan niat baik membantu rakyat miskin bersekolah dengan murah, bahkan gratis, meski hanya di tingkat sekolah dasar lewat bantuan operasional sekolah (BOS). Program beasiswa dan bantuan-bantuan finansial digelontorkan ke sekolah-sekolah negeri dan swasta. Namun, kenapa masih ada yang putus sekolah? Belum cukupkah? Atau, terjadi penyelewengan tanggung jawab?

Penanggung jawab peningkatan mutu pendidikan adalah seluruh rakyat Indonesia. Jadi seharusnya yang aktif dalam proses pengawasan terhadap kinerja lembaga pendidikan adalah masyarakat. Namun, ironisnya, hal itu masih jauh dari harapan. Rakyat yang terpojokkan dengan kemahalan pendidikan belum memiliki kesadaran untuk mengawal proses penting dalam kehidupan, yaitu hak mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka terdiam karena ketidakberdayaan menghadapi lembaga pendidikan yang seperti toko mainan anak-anak. Siapa tertarik, ya harus beli.

Asumsi umum yang berkembang, jika ingin pendidikan yang bermutu, harus berani bayar mahal. Ada pemeo Jawa “ana rega ana rupa” yang berarti mutu ditentukan berdasar harga. Jika dilihat dari substansi asumsi umum itu, segala sesuatunya lebih dilihat dari dimensi materialistis dengan mengesampingkan nilai moral dan sosial. Masyarakat telanjur membenarkan anggapan itu, sehingga berimplikasi pada banyak hal, termasuk dalam memandang “harga” pendidikan di negeri ini.

Pemahaman yang “agak melenceng” itu menimbulkan pendangkalan makna pendidikan. Pendidikan diarahkan ke pembentukan karakter positivistik yang cenderung materialistis sehingga orientasi karakter yang terbangun pada anak didik adalah sekolah sebagai investasi. Artinya, pembacaan yang terjadi lebih didasari seperti prosesi jual-beli. Siapa bermodal bisa sekolah dan sekolah adalah bagian dari investasi modal masa depan.
Perusahaan Jasa Tak salah jika ada anggapan sering kali lembaga pendidikan ibarat perusahaan jasa. Mereka menawarkan jasa pendidikan dengan orientasi mutu sehingga biaya pendidikan yang harus dikeluarkan peserta didik menjadi mahal. Komersialisasi pendidikan pun terjadi. Dan parahnya, masyarakat mengamini hal itu. Mereka beranggapan sekolah mahal adalah sekolah bermutu. Itu juga bukti liberalisasi pendidikan sudah kronis dan yang akan menguasai prosesi pendidikan di Indonesia adalah orangorang bermodal.

Yang paling mengkhawatirkan adalah saat pendidikan menjadi barang mewah bagi rakyat, terutama rakyat miskin. Mereka akan sangat sulit naik ke tingkat lebih tinggi karena kebodohan dan keminiman akses kesempatan bekerja yang lebih baik. Bukankah untuk bekerja di pabrik membutuhkan ijazah?

Masih adakah sekolah rakyat di negeri ini? Sekolah yang tak melihat seberapa banyak uang yang akan diterima, tetapi mampu memberikan ilmu secara maksimal? Masih adakah kepedulian berbagi ilmu pengetahuan dengan tidak dilembagakan, dengan proses belajar yang luwes dan dapat diakses masyarakat dengan mudah?

Pembelajaran terhadap publik yang mencerdaskan, bukan memiskinkan. Saya merindukan situasi pendidikan seperti di surau-surau; di sanalah diajarkan tentang moral dan berbagi ilmu pengetahuan. Bukan justru menjual ilmu pengetahuan. (51)

- Anas Maulana, Wakil Presiden Mahasiswa STAIN Salatiga (2010-2011), Ketua Komunitas Tulis Cahaya Salatiga

Category :

About PMII Salatiga :
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Situs Resmi PMII Cabang Kota Salatiga, Berjuang Untuk Rakyat.

0 komentar