Demokrasi Vs Demonstrasi Kampus

PMII CABANG KOTA SALATIGA | 8:18 PM | 0 komentar

Suara Merdeka Halaman Kampus
03 April 2010
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/03/104237/Demokrasi-Vs-Demonstrasi-Kampus
Demokrasi Vs Demonstrasi Kampus

* Oleh Anas Maulana

TULISAN ini bermula ketika saya berbagi kabar tentang keadaan kampus masing-masing dengan Abu Laka, Ketua Sema UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus Koordinator Pusat Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Seluruh Indonesiadi (FL2MI) pada seminar “Politik, Pelatihan Legal Drafting, dan Temu Sema/DPM PTAI Se-Jawa Tengah” di STAIN Salatiga, 22-24 Maret 2010. Dia menuturkan mahasiswa di kampusnya sering mendemonstrasi lembaga. Bahkan pekan lalu mereka menduduki kantor rektorat.
Bagi saya, itu luar biasa. Artinya, di luar kebiasaan demokrasi di kampus saya, STAIN Salatiga.

Dia menyatakan kampus adalah miniatur negara. Maka demokrasi jadi kebutuhan mendasar bagi penciptaan iklim kampus yang transparan, aspiratif, dan akomodatif. Nah, di sini senat mahasiswa memainkan peran penting. Senat mahasiswa tak hanya mengontrol eksekutif kampus, tetapi juga mengawal setiap kebijakan lembaga yang berkenaan dengan kehidupan mahasiswa.

Senat mahasiswa UIN Yogya menuntut agar lembaga melibatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan yang berkait dengan kemahasiswaan secara langsung. Dalam hal ini, satu suara dari senat mahasiswa jadi penting. Mengapa? Senat mahasiswa adalah representasi keseluruhan mahasiswa karena mereka dipilih langsung oleh mahasiswa melalui pemilu mahasiswa.

Namun kenyataannya mahasiswa tak pernah dilibatkan dalam penetapan keputusan. Termasuk di STAIN Salatiga, hal itu hanya jadi rekomendasi pada Konggres Mahasiswa (forum tertinggi di kampus).

Dalam pengambilan keputusan untuk mahasiswa, tak ada wakil mahasiswa yang bisa jadi ukuran dari kebutuhan mereka. Lembaga selalu berargumen yang berhak memutuskan kebijakan adalah senat universitas dengan mengesampingkan suara mahasiswa.
Lalu, apa gunanya senat mahasiswa sebagai wakil suara mahasiswa di kampus jika tak bisa masuk dalam pengambilan keputusan kemahasiswaan. Terlebih pada pemilihan rektor seperti di UIN Yogyakarta beberapa hari lalu.

Saat itu, kami berkesimpulan telah terjadi pengondisian pada mahasiswa agar tetap asyik dengan kehidupan akademik dengan mengesampingkan peran sebagai agen perubahan di masyarakat. Padahal, bukankah untuk menjadi pioner butuh bekal cukup? Nah, kampuslah tempat ideal untuk menemukan soft skill dan hard skill itu, yakni dengan aktif mengikuti kegiatan keorganisasian.

Dengan berorganisasi, mahasiswa lebih siap menjalani proses pengabdian di masyarakat. Bukankah tridarma perguruan tinggi mengharuskan setiap mahasiswa mengabdi di masyarakat? Masalahnya, kebijakan yang ada tak mencerminkan pembentukan karakter mahasiswa yang memilki nalar perubahan dan penggerak.

Namun hanya sebagai keluaran yang siap kerja dan diterima pasar. Kenyataannya, bukankah banyak di antara mereka yang menganggur?

Mahasiswa dicekoki kebijakan seperti SKS, absensi harus 80%, beasiswa dengan standar akademik IPK 3,0 ke atas, tanpa tahu sebab-musabab serta campur tangan berlebihan pembantu rektor III/pembantu ketua bidang kemahasiswaan dalam proses keorganisasian.
Permasalahan administrasi serta kemahasiswaan yang lain hanya jadi bunyi-bunyian di tingkatan mahasiswa, tanpa penyaluran proporsional. Maka tak mengherankan jika mahasiswa jenuh dan akhirnya menyalurkan lewat demonstrasi.

Di STAIN Salatiga, ada tradisi public hearing. Itulah sarana yang mempertemukan para petinggi lembaga dan mahasiswa di satu forum. Dalam forum itu, mahasiswa menyampaikan segala keluh kesah tentang permasalahan perkuliahan. Namun sering kali forum itu hanya dijadikan onani penyaluran kegelisahan mahasiswa, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Ibarat Teman Sudah dua tahun ini saya duduk di senat mahasiswa dan beberapa kali mengadakan public hearing. Namun sia-sia karena tetap saja di ranah praktis suara mahasiswa tak pernah dilibatkan dalam forum pengambilan kebijakan lembaga yang bersentuhan dengan mahasiswa.

Mahasiswa dan lembaga ibarat teman. Namun teman yang kritis. Berdasar pemahaman itu, wajar jika salah satu pihak salah, lalu sang teman mengingatkan. Dalam proses persahabatan itu membutuhkan keterbukaan. Jika saling menutup diri, buruk akibatnya. Ketakharmonisan hubungan akan berdampak pada instabilitas sosial yang kelak mengakibatkan ketidakpercayaan, lalu berujung ke sikap saling acuh tak acuh atau bahkan bisa anarkis.

Seharusnya mahasiswa dan lembaga selalu bersama-sama dalam pembangunan kapasitas mahasiswa. Sama-sama punya hak bersuara demi kepentingan mahasiswa. Jika suara mahasiswa dianggap sampah, tak dipandang sama sekali, semoga pengalaman para sahabat di Sema UIN Yogya bisa jadi contoh yang dapat diterima. (53)

- Anas Maulana, mahasiswa Tarbiyah STAIN Salatiga

Category :

About PMII Salatiga :
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Situs Resmi PMII Cabang Kota Salatiga, Berjuang Untuk Rakyat.

0 komentar