Pluralisme dalam perspektif lokal

PMII CABANG KOTA SALATIGA | 12:09 AM | 0 komentar

Seminar Internasional III Dinamika Politik Lokal di Indonesia : "Pluralisme Dalam Perspektif Lokal" di Kampung Percik, Salatiga, 9 - 12 Juli 2002.

Hasil dan Kesimpulan

Seminar memperoleh sekitar 70 makalah, yang masuk akhirnya dipilih 43 makalah yang dapat dipresentasikan.
Untuk mengatasi banyaknya presentasi dan makalah, maka diatur dengan seri pembahasan dengan cara paralel, dimana para peserta dapat menentukan sendiri pilihan kelas (kelompok) yang akan diikuti. Bahasan yang terekam di dalam seminar ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Makna Politik Lokal. Sampai seri seminar ke tiga kali inipun makna Politik Lokal masih diperdebatkan dan memang masing-masing individu mempunyai argumen yang kuat sehingga pada akhirnya disadari bahwa makna politik lokal memang sebaiknya tidak dibakukan sampai pada akhirnya diperoleh kesepakatan bersama. Walau begitu disepakati bahwa pembahasan dan orientasi pemikiran tentang politik lokal di era sekarang ini menjadi sangat penting karena mengandung makna pluralitas, keberpihakan kepada rakyat, dan relatif lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat sosio-kultural, dibanding pengaruh global.
2. Perkembangan Dinamika Politik Lokal dan Kekuasaan Birokrasi. Diperoleh pemahaman adanya kekhawatiran bahwa dinamika politik lokal akan berkembang ke arah yang tidak berbeda dengan perkembangan politik nasional pada masa lalu yaitu adanya proses-proses yang bersifat sentralistis top-down namun pada cakupan dan aras yang lebih rendah. Permasalahan tersebut timbul karena persepsi dan perilaku para birokrat yang masih menunjukkan sifat bureaucratic authoritarianisme, cenderung memanfaatkan autonomous choice yang lebih menguntungkan diri sendiri daripada berpihak kepada rakyat. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab gagalnya Jaring Pengaman Sosial dan Dana Pinjaman Bergulir. Berdasar kenyataan ini hal yang perlu segera ditangani adalah mengadakan gerakan bureaucratic reform.
3. Konsep dan Implementasi Undang-undang Otonomi Daerah (otda). Kesimpangsiuran pengembangan konsep dan implementasi perundang-undangan otda tidak hanya bersumber kepada kesalahkaprahan pemaknaan konsep, penggunaan paradigma dan pendekatan terhadap konsep yang salah. Namun lebih dari itu permasalahan yang juga besar adalah penggunaan konsep-konsep tersebut di aras praksis. Ilustrasi pada pada aras praksis ini adalah pada usaha untuk mengembangkan pola transparansi anggaran Pemda. Usaha ini memperoleh tentangan yang besar dari perencana dan pelaksana anggaran karena dianggap akan membuka praktiek manipulasi dan korupsi.
4. Penyampaian Aspirasi Masyarakat di Aras Lokal. Pada era reformasi ini warga masyarakat
secara aktif sudah berusaha menyampaikan aspirasi politiknya dan juga berusaha mewujudkannya. Walaupun demikian selain saluran aspirasi yang belum jelas aspirasi mereka juga memperoleh halangan dan hambatan dari pihak lokal elite di pedesaan (termasuk penguasa negara di aras lokal) yang merasa terancam kepentingannya. Untuk mengatasi permasalahan ini dipikirkan adanya model pendekatan civil society yang bersifat policy making yang responsif yang memungkinkan munculnya kebijakan yang mendasarkan diri pada kehendak rakyat.
5. Perkembangan Gerakan Antar Iman, Keagamaan, dan Kekuasaan. Pada tahun 1990-an telah muncul sejumlah gerakan antar iman (sekitar 48 gerakan) yang berusaha memberi kesadaran baru tentang makna keagamaan yang bersifat inklusif dan plural. Usaha yang paling aktual dilaksanakan oleh gerakan ini adalah mencoba menjembatani kelompok-kelompok yang saling bertentangan (konflik) yang dilandasi ikatan keagamaan (dan suku). Walaupun gerakan antar iman telah ada, kenyataannya konflik antar agama masih terus meluas. Dapat dipahami bahwa permasalahan konflik tidak hanya pada perbedaan agama namun jauh menjangkau aspek sosial, ekonomi, dan politik. Segregasi antar penduduk dan wilayah dapat menjadi pemicu konflik. Gerakan keagamaan juga seringkali justru saling bertentangan karena kuatnya usaha saling rebut umat dan karena tidak adanya religious broker. Isu-isu agama sering dieksploitasi sedemikian rupa dan dijadikan landasan untuk mencari pengaruh dan kekuasaan. Walaupun agama tidak dapat dipisahkan dari politik namun demikian beberapa peneliti menemukan bahwa gerakan keagamaan justru dapat menyelesaikan permasalahan permasalahan lokal secara lokal dengan kekuatan lokal.
Kekuasaan selain terletak pada aspek pilihan agama apa yang dipilih, juga ditentukan dari bawah. Paradigma teori kekuasaan yang baru sebenarnya tidak mendasarkan diri kepada legitimasi dari atas (pemimpin) namun lebih kepada rakyat dan sifatnya tidak utuh namun terbagi-bagi dan dipengaruhi oleh aspek sosial kultural lokal. Dari sini dapat dipahami kalau kemudian ada usaha dari rakyat untuk menolak otonomi (kekuasaan) pada aras lokal (kabupaten) dan menghendaki otonomi di aras yang lebih tinggi (Provinsi) sejauh bahwa otonomi tersebut tetap mendasarkan kekuasaannya dari bawah.
6. Perkembangan Politik Menghadapi 2004. Diperoleh pemahaman bahwa pada menjelang 2004 sekarang ini Indonesia sedang menghadapi reformation rejection sindrome yang ditunjukkan oleh kesemrawutan perundang-undangan yang saling bertentangan dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh sebab itu pada saat menjelang 2004 ini dikehendaki adanya suatu policy platform yaitu suatu pernyataan yang jelas dari kebijakan Parpol yang ingin diwujudkan. Walaupun demikian tetap diperlukan kehati-hatian di dalam menerapkannya karena masyarakat belum mempunyai pemahaman sistem hukum dan politik yang memadai.
7. Privatisasi Dalam Era Desentralisasi. Munculnya desentralisasi membawa konsekwensi dan permasalahan kepada aspek privatisasi usaha, terutama aspek perijinan. Kenyataan menunjukkan bahwa proses perijinan tidak berjalan sesuai dengan harapan desentralisasi. Ada benturan antara kepentingan pemerintah, pengusaha, bahkan kepentingan oknum. Usaha standardisasi perijinan merupakan salah satu jalan untuk mengatasi hal tersebut. Permasalahannya adalah apakah standardisasi tersebut dapat berjalan baik dan apakah masyarakat sudah paham dan siap untuk melaksanakannya. Departemen Kehutanan juga diperhadapkan pada tuntutan rakyat untuk memiliki hutan, kendati Dephut masih mencoba pola sentralisasi.
8.
Perkembangan Ekonomi dan Civil Society. Usaha di sektor swasta nampaknya membawa pengaruh perbaikan ekonomi yang pada gilirannya akan menempatkan para pengusaha ke dalam kelompok elite politik di aras lokal. Permasalahan yang kemudian perlu dipikirkan apakah perkembangan ekonomi suatu pengusaha mampu mengembangkan kemandirian rakyat untuk melakukan critical discourse terhadap negara (civil society)
9. Perkembangan Partai dan Pendukungnya. Pada era reformasi ini telah ada keberanian dari kelompok napol dan tapol untuk memperjuangkan nasibnya melalui saluran formal yaitu Parpol. Munculnya parpol kader baru yang bernuansa "merah" ini menunjukkan paling tidak adanya keterbukaan negara untuk tidak lagi terlalu menekan kelompok ini (walaupun tekanan-tekanan tetap dilakukan). Permasalahan yang muncul adalah adanya keraguan apakah partai-partai baru semacam ini mampu menjadi partai yang besar dan mampu mewujudkan cita-cita pendukungnya. Kesamaan warna basis religi antar opartai mampu meredam potensi konflik partai.
10. Arus Bawah Dalam Pengambilan Kebijakan. Kebangkitan kekuatan "dari bawah" dan antusiasme untuk ikut ambil bagian dalam proses kebajakan, menyusul dilakukannya difasilitasi dan pemberdayaan oleh sejumlah aktivis. Kebangkitan kekuatan dari bawah ini memberi harapan baru bagi berkembangnya tatanan pemerintahan di era otonomi daerah, namun di sisi lain menimbulkan keresahan karena lembaga-lembaga politik formal, khususnya birokrasi dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, masih belum siap dengan munculnya dinamika baru. Di samping itu, media massa, belum bisa melakukan repositioning untuk menjembatani antar pelaku politik. Banyak LSM yang dicitrakan sebagai "tukang pecah balon" tidak bisa memberikan kontibusi signifikan dalam menyelesaikan masalah. Terekspresikannya kekuatan "dari bawah" ini berjalan seiring dengan premanisme politik, interpretasi pemaknaan otonomi daerah yang simpang siur. Sungguhpun demikian, pluralitas dalam masyarakat bisa tetap tercermin dalam jajaran lembaga-lembaga formal, sehingga issue seperti putra daerah, tidak mencuat.
11. Permasalahan Hubungan Eksekutif dan Legislatif di Daerah. Hubungan eksekutif-legislatif di Kota Surabaya di saat Cak Narti memimpin Kota ini sangat sarat dengan nuansa konflik. Bermula dari persoalan penanganan sampah, ketegangan hubungan DPRD dengan Cak Narto semakin hari semakin memanas. Penyelenggaraan pemerintahan, utamanya pengambilan keputusan kepala daerah, sempat terhenti ketika Cak Narto berada di Australia dalam waktu yang lama. Suarana konfliktif yang terjadi menghayutkan para aktor menghabiskan energinya untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, bukan mengembangkan sistem pemerintahan yang fungsional.
12. Pro dan Kontra Demokrasi. Kejatuhan Orde Baru nampaknya membawa banyak perubahan baik di bidang sosial-budaya, maupun ekonomi. Walaupun demikian terjadi juga perkembangan yang kurang menggembirakan karena munculnya banyak konflik horisontal, termasuk gerakan yang dianggap anti demokrasi.
Salatiga, 12 Juli 2002

Steering Committe

Category :

About PMII Salatiga :
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Situs Resmi PMII Cabang Kota Salatiga, Berjuang Untuk Rakyat.

0 komentar